Hukum Acara Perdata Peradilan Umum dan Hukum Acara Peradilan
Agama
PEMBAHASAN
A. Hukum Acara Perdata Peradilan Umum
Menurut Prof. DR. Sudikno
Mertokusumo, S.H., Hukum Acara Perdata adalah
peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya Hukum
Perdata Materiil dengan perantaraan hakim.[1]
Sedangkan menurut Prof. DR. R. Wirjono Prodjodikoro, S.H., hukum acara perdata ialah rangkaian Peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak
terhadap dan dimuka pengadilan dan bagaimana cara pengadilan itu harus
bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan
Hukum Perdata.[2]
Menurut Sudikno Mertokusumo, Hukum
acara perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin
ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantaraan hakim atau peraturan hukum
yang menentukan bagaimana caranya menjamin pelaksanaan hukum perdata materiil.
Sifat Hukum acara perdata
Seperti halnya dengan segala hukum, maka hukum
acara perdata sebagian tertulis, artinya termuat dalam beberapa undang-undang
negara. Sebagian lagi tidak tertulis, artinya menurut adat kebiasaan yang
dianut oleh para hakim dalam melakukan pemeriksaan perkara.[3]
Dengan demikian, dalam hukum acara perdata kita apabila ada suatu perkara yang
diajukan kemuka sidang (Pengadilan), hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa
dan mengadili perkara tersebut dengan alasan bahwa hukumnya tidak tahu atau
kurang jelas. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam pasal 14 ayat 1 UU No. 14
tahun 1970 yang berbunyi sebagai berikut: “ Pengadilan tidak boleh menolak
untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa
hukum tidak tahu atau kursng jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan
mengadilinya.”
Kalau sekiranya ia tidak menemukan hukum
tertulis, maka dia wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum
yang hidup dalam masyarakat. Hal ini sesuai dengan isi ketentuan dalam pasal 27
ayat 1 UU No. 14 tahun 1970 yang berbunyi sebgai berikut: “hakim sebagai
penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengkuti dan memahami nilai-nilai
hukum yang hidup dalam masyarakat.” Dengan melihat ketentuan tersebut,
jelas bahwa hal ini memberikan kesempatan untuk dipergunakannya hukum adat.
Sehingga dengan demikian selain membantu hakim dalam melaksanakan tugasnya,
maka keputusannya pun diharapkan sesuai dengan nilai-nilai yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat. Sebagia contoh, misalnya seorang hakim dari Jawa
Barat yang dipindah tugaskan ke Sumatra Barat, lalu harus mengadili perkara
adat maka dalam hal ini ia tidak dapat menolak dengan alasan tidak tahu
hukumnya. Untuk itu ia dapat memanggil seorang kepala adat atau kepala suku
yang mengetahui hukum adat setempat. Berdasarkan keterangan ahli adat tersebut
ia dapat menjatuhkan keputusannya. Tapi demi mengingat kedudukan hakim atau
pengadil yang merupakan tempat pelarian terakhir bagi para pencari keadilan,
maka sudah sepatutnyalah kalau hakim tersebut mengetahui segala bentuk hukum
baik yang tertulis maupun tidak tertulis.
Selain dalam hal inisiatif pengajuan perkara
seperti tersebut di atas, maka peraturan-peraturan hukum acara perdata
mempunyai pula sifat mengikat dan memaksa, ini mengandung arti bahwa kalau
tidak ditaati akan berakibat merugikan bagi pihak itu sendiri, atau kalau
peraturan itu dilanggar oleh hakim, mislanya putusan tidak diucapkan dimuka
umum, maka putusan itu dinyatakan tidak sah menurut hukum. Sebgai contoh
lainnya misalnya, alam hal pengajuan banding dalam undang-undang dinyatakan
bahwa banding dapat diajukan dalam jangka waktu 14 hari setelah keputusan itu
diketahui. Maka jika waktu pengajuannya telah melewati batas waktu tersebut,
permohonan banding tidak akan diterima.
Dengan demikian jelaslah di sini bahwa hukum
acara perdata mempunyai sifat mengikat dan memaksa, karena dianggap
menyelenggarakan kepentingan umum,[4]
sehingga peraturan Hukum Acara Perdata ini tidak bisa dikesampingkan oleh
pihak-pihak yang berkepentingan atau yang bersengketa serta merta harus tunduk
dan mentaatinya.
Meskipun demikian, ada juga bagian dari
peraturan Hukum Acara Perdata yang bersifat pelengkap (aanvullend recht)
karena dianggap mengatur penyelenggaraan kepentingan khusus dari yang
bersangkutan, sehingga dapat dikesampingkan oleh pihak-pihak yang
berkepentingan. Misalnya mengenai alat bukti yang dipakai dalam pembuktian
suatu perkara, pihak-pihak yang berkepentingan dapat mengadakan perjanjian yang
menetapkan bagi mereka hanya dapat mempergunakan 1 (satu) macam alat bukti,
umpamanya tulisan, sedangkan pembuktian dengan alat bukti lain tidak
diperkenankan. Perjanjian yang mengatur tentang pembuktian yang berlaku bagi
orang-orang yang mengadakan perjanjian tersebut "perjanjian
pembuktian", yang menurut hukum memang dibolehkan dalam batas-batas
tertentu.[5]
Sedangkan tujuan hukum acara perdata adalah
supaya masyarakat bisa mempertahankan hak keperdataanya, dan juga agar
penyelesaian perkara perdata atau pemulihan hak perdatanya tidak dengan cara
main hakim sendiri (eigenrichting), akan tetapi harus menurut ketentuan
yang termuat dalam Hukum Perdata Formil sehingga tercipta ketertiban dan
kepastian hukum (perdata) dalam masyarakat.
Secara garis besar dapat dikemukakan
bahwa hukum acara perdata berfungsi untuk mempertahankan atau menegakkan hukum
perdata agar benar-benar bermanfaat untuk semua warga.
Adapun sumber hukum acara perdata,
antara lain:[6]
a. Het Herziene Indonesiech Reglement (HIR) atau Reglement
Indonesia yang diperbaharui : Stbl. 1848 No. 16 Stbl. 1941 N. 44 untuk daerah
Jawa dan Madura ;
b. Rechts Reglement Buitenngewesten (Rbg. Atau Reglement daerah
seberang : Stb 1927 No. 227 ) untuk luar Jawa san Madura) ;
c. Reglement op de Burgerlijk Rechtsvoerdering (RV atau
Reglement Hukum Acara Perdata untuk golongan Eropa : Stb. 1847 No. 52 , dan
Stb.1849 No. 63)
d. Burgerlijke Wetboek (BW) atau disebut juga Kitab
Undang-undang Hukum Perdata Eropa
e. UU Nomor 2 tahun 1986, tentang Peradilan Umum
Sedangkan
asas-asas dalam hukum acara perdata adalah:
a. Peradilan yang terbuka untuk umum (Openbaarheid Van
Rechtsspraak)
Peradilan
yang terbuka untuk umum merupakan aspek fundamental dari hukum acara perdata.
Sebelum perkara disidangkan, maka hakim ketua harus menyatakan bahwa
“persidangan terbuka untuk umum” sepanjang undang-undang tidak menentukan lain.
(Mis : dalam perkara persidangan perkara perceraian siding dinyatakan tertutup
untuk umum. Apabila hal ini tidak dipenuhi maka akan mengakibatkan putusan
batal demi hukum (Pasal 19 Ayat 1 dan 2 UU No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan
Kehakiman
b. Hakim bersifat Pasif (Lijdelijkeheid Van De Rehter)
Dalam
asas ini terdapat sebuah aturan yang dikenal dengan (Nemo Judex Sine Actore)
yang artinya apabila gugatan tidak diajukan oleh para pihak, maka tidak ada
hakim yang mengadili perkara bersangkutan.
c. Mendengar Kedua belah pihak.
d. Pemeriksaan dalam dua instansi (Onderzoek In Tween
Instanties)
e. Pengawasan Putusan Lewat Kasasi.
f. Peradilan dengan membayar biaya.
Peradilan
perkara perdata pada asalnya dikenakan biaya perkara (Pasal 4 Ayat 2, Pasal 5
Ayat 2, UU No 4 Tahun 2004. Pasal 121 Ayat 4 HIR/Pasal 145 Ayat 4, 192, 194
RBg. Bagi mereka yang tidak mampu membayar biaya perkara dapat mengajukan
permohonan kepada ketua pengadilan negeri setempat untuk berperkara secara
Cuma-Cuma (Pro Deo).
B. Hukum Acara Peradilan Agama
Pengertian hukum acara peradilan agama menurut pendapat
abdul manan adalah hukum yang mengatur tentang cara mengajukkan gugatan kepada
pengadilan agama, bagaimana pihak tergugat mempertahankan diri dari gugatan
penggugat bagaimana para hakim bertindak baik sebelum dan sedang pemeriksaan
dilaksanakan dan bagaimana cara hakim memutus perkaara yang di ajukan oleh
penggugat serta bagaimana melaksanakan putusan tersebut sebagaimana mestinya sesuai
dengan peraturan yang berlaku, sehingga hak dan kewajiban sebagaimana yang
diatur dalam hukum perdata agama dapat berjalan sebagaimana mestinya.
Menurut mukti arto hukum acara peradilan agama adalah semua
kaidah hukum yang menentukan dan mengatur cara bagaimana melaksanakan hak hak
dan kewajiban kewajiban perdata agama sebagaimana yang diatur dalam hukum
perdata materiil yang di atur dalam lingkungan peradilan agama
Sumber hukum acara peradilan agama
PP No. 45
Tahun 1957, PA dibentuk luar Jawa, Madura dan Kalimantan Selatan,
namun tidak disinggung hukum acaranya.
UU No. 1 Tahun 1974 Tentang .
Perkawinan jo. PP No. 9 Tahun 1975 Tentang Peraturan Pelaksanaannya. dan UU No.
7 Tahun 1989 Tentang. Peradilan
Agama Pasal 54. secara tegas disebutkan hukum acara yang berlaku di PA
Pasal 54 telah dikemukakan bahwa
Hukum acara yang berlaku dalam lingkungan peradilan agama adalah Hukum Acara Perdata
yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali hal-hal
yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini
Inpres Nomor 1 tentang intruksi permasyarakatan kompilasi hukum
islam ( KHI) yang terdiri dari tiga buku yaitu hukum perkawinan, kewarisan dan
wakaf.
Sebelum membicarakan pengertian
Hukum Acara Peradilan Agama, perlu diketahui bahwa Undang-Undang
Dasar Tahun 1945 menyebutkan dalam Bab IX pasal 24 ayat (2) bahwa peradilan
agama merupakan salah satu pemegang kekuasaan kehakiman. Peradilan agama adalah
salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia sesuai dengan ketentuan
pasal 10 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 yang telah diubah dengan UU No.35 Tahun
1999 dan terakhir diganti dengan UU No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan
Kehakiman. Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan
atas UU No.7 Tahun 1989 dalam pasal 2 disebutkan:“Peradilan Agama adalah
salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang
beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang ini.
Jadi dapat disimpulkan bahwa Peradilan Agama
adalah salah satu dari Peradilan Negara Indonesia yang sah, yang bersifat
Peradilan Khusus, yang berwenang dalam jenis perkara perdata Islam tertentu,
bagi orang islam di Indonesia.[7]
Menurut ketentuan Pasal 54, hukum acara yang
berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara
Perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali
yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini.[8]
Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa terdapat
hukum acara perdata yang secara umum berlaku pada pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Umum dan Peradilan Agama, dan ada pula hukum acara yang hanya berlaku
pada pengadilan dalam Peradilan Agama.
Menurut pasal 1 ayat 1 UU No. 50 Tahun 2009 Peradilan Agama adalah
peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa Hukum Acara Peradilan Agama adalah hukum yang mengatur
tentang berita pengajuan perkara perdata Islam tertentu dalam kewenangan
peradilan khusus di lingkungan Peradilan agama. Atau dengan kata lain Hukum
AcaraPeradilan
Agama ialah pertaturan hukum yang mengatur tentang bagaimana mentaati dan
melaksanakan hukum perdata materiel dengan perantaraan Pengadilan Agama termasuk
bagaimana cara bertindak mengajukan tuntutan hak atau permohonan dan bagaimana
cara Hakim bertindak agar hukum perdata materiel yang menjadi kewenangan
Peradilan Agama berjalan sebagaimana mestinya.
Dalam
definisi pengadilan agama tersebut kata “Perdata” dihapus. Hal ini dimaksudkan
untuk:
a. Memberi dasar hukum kepada
Pengadilan Agama dalam menyelesaikan pelanggaran atas undang-undang perkawinan
dan peraturan pelaksanaannya
b. Untuk memperkuat landasan hukum
Mahkamah Syariah dalam melaksanakan kewenangannya di bidang jinayah berdasarkan
Qonun
Dalam pasal 49 UU No. 7 tahun 1989 disebutkan bahwa
Peradilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dalam
bidang:
a. Perkawinan
b. Kewarisan, wasiat, dan hibah yang
dilakukan berdasarkan hukum Islam, dan
Hukum Acara Peradilan Agama sekarang
secara garis besar bersumber kepada dua aturan yaitu:[10]
a.
Yang
terdapat dalam UU No. 7 tahun 1989
b.
Yang berlaku
di lingkungan Peradilan Umum
Adapun asas-asas Hukum Acara Peradilan Agama adalah meliputi sebagai berikut:
a.
Asas umum
lembaga peradilan agama
1) Asas Bebas Merdeka Kekuasaan kehakiman adalah
kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara hukum
Republik Indonesia. Dalam penjelasan Pasal 1 UU Nomor 4 tahun 2004.
2) Asas Sebagai Pelaksana Kekuasaan Kehakiman,
yaitu Penyelenggara kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung
dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
semua peradilan di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia adalah peradilan
Negara dan ditetapkan dengan undang-undang. Dan peradilan Negara menerapkan
hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila.
3) Asas Ketuhanan, yaitu peradilan agama dalam
menerapkan hukumnya selalu berpedoman pada sumber hokum Agama Islam, sehingga
pembuatan putusan ataupun penetapan harus dimulai dengan kalimatBasmalah yang
diikuti dengan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhan Yang Maha Esa.”
4) Asas Fleksibelitas, yaitu Pemeriksaan perkara
di lingkungan peradilan agama harus dilakukan dengan sederhana, cepat, dan
biaya ringan. Adapun asas ini diatur dalam pasal 57 (3) UU Nomor 7 Tahun 1989
yang tidak diubah dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan
Agama jo pasal 4 (2) dan pasal 5 (2) UU Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan
Kehakiman. Untuk itu, pengadilan agama wajib membantu kedua pihak berperkara
dan berusaha menjelaskan dan mengatasi segala hambatan yang dihadapi para pihak
tersebut.
5) Asas Non Ekstra Yudisial, yaitu segala campur
tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman
dilarang kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam UUD RI Tahun 1945.
Sehingga setiap orang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
akan dipidana.
6) Asas Legalitas, yaitu Peradilan agama mengadili
menurut hokum dengan tidak membeda-bedakan orang. Asas ini diatur dalam pasal 3
(2), pasal 5 (2), pasl 6 (1) UU No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman jo.
Pasal 2 UU No.3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama. Asas legalitas dapat
dimaknai sebagai hak perlindungan hukum dan sekaligus sebagai hak persamaan
hokum. Untuk itu semua tindakan yang dilakukan dalam rangka menjalankan fungsi
dan kewenangan peradilan harus berdasar atas hokum, mulai dari tindakan
pemanggilan, penyitan, pemeriksaan di persidangan, putusan yang dijatuhkan dan
eksekusi putusan, semuanya harus berdasar atas hukum. Tidak boleh menurut atau
atas dasar selera hakim, tapi harus menurut kehendak dan kemauan hukum.
b.
Asas khusus
kewenangan Peradilan Agama
1)
Asas
Personalitas Ke-islaman, yakni Yang tunduk dan yang dapat ditundukkan kepada
kekuasaan peradilan agama, hanya mereka yang mengaku dirinya beragama Islam.
Asas personalitas ke-islaman diatur dalam UU nomor 3 Tahun 2006 Tentang
perubahan atas UU Nomor 7 tahun 1989 Tentang peradilan agama Pasal 2 Penjelasan
Umum alenia ketiga dan Pasal 49 terbatas pada perkara-perkara yang menjadi
kewenangan peradilan agama.
2)
Asas Ishlah
(Upaya perdamaian), yaitu Upaya perdamaian diatur dalam Pasal 39 UU No. 1 Tahun
1974 tentang perkawinan jo. Pasal 31 PP No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU
No. 1 Tentang perkawinan jo. Pasal 65 dan Pasal 82 (1 dan 2) UU No. 7 Tahun
1989 yang tidak diubah dalam UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama jo.
Pasal 115 KHI, jo. Pasal 16 (2) UU Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan
Kehakiman.
3)
Asas Terbuka
Untuk Umum, Asas terbuka untuk umum diatur dalam pasal 59 (1) UU No.7
Tahun 1989 yang tidak diubah dalam UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradila Agama
jo. Pasal 19 (3 dan 4) UU No. 4 Tahun 2004. Sidang pemeriksaan perkara di
Pengadilan Agama adalah terbuka untuk umum, kecuali Undang-Undang menentukan
lain atau jika hakim dengan alasan penting yang dicatat dalam berita acara
siding memerintahkan bahwa pemeriksaan secara keseluruhan atau sebagianakan
dilakukan dengan siding tertutup.
4)
Asas Equality,
Setiap orang yang berperkara dimuka sidang pengadilan adalah sama hak dan
kedudukannya, sehingga tidak ada perbedaan yang bersifat “diskriminatif” baik
dalam diskriminasi normative maupun diskriminasi kategoris.
5)
Asas “Aktif”
memberi bantuan, yaitu terlepas dari perkembangan praktik yang cenderung
mengarah pada proses pemeriksaan dengan surat atau tertulis, hukum acara
perdata yang diatur dalam HIR dan RBg sebagai hukum acara yang berlaku untuk
lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Agama sebagaimana yang tertuang pada
Pasal 54 UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama.
6)
Asas Upaya
Hukum Banding, yaitu terhadap putusan pengadilan tingkat pertama dapat
dimintakan banding kepada Pengadilan Tinggi oleh pihak-pihak yang bersangkutan,
kecuali Undang-undang menentukan lain.
7)
Asas Upaya
Hukum Kasasi, yaitu terhadap putusan pengadilan dalam tingkat banding dapat
dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung oleh para pihak yang bersangkutan,
kecuali undang-undang menentukan lain.
8)
Asas Upaya
Hukum Peninjauan Kembali, yaitu terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali
kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang
ditentukan dalam undang-undang. Dan terhadap putusan peninjauan kembali tidak
dapat dilakukan peninjauan kembali.
9)
Asas
Pertimbangan Hukum (Racio Decidendi), yaitu segala putusan pengadilan selain
harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula paal tertentu dan
peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis
yang dijadikan dasar untuk mengadili.
Hukum Acara Peradilan Agama bersifat “Lex Specialis”,
dijelaskan dalam Pasal 54 UU No. 7 Tahun 1989 yang menyatakan
bahwa,”Hukum Acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan
Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-undang
ini”.
Berdasarkan bunyi pasal 54 tersebut di atas, berlaku asas
“Lex Specialis derogat Lex Generalis” yang berarti disamping acara yang berlaku
pada pengadilan di lingkungan Pengadilan Agama berlaku Hukum Acara
yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, namun secara
khusus berlaku Hukum Acara yang hanya dimiliki oleh pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Agama.
Seperti telah diuraikan di atas
bahwa berdasarkan ketentuan pasal 54 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, hukum
acara yang berlaku di Peradilan Agama adalah hukum acara perdata yang berlaku
di lingkungan Peradilan Umum kecuali yang telah diatur secara khusus dalam
Undang-Undang tersebut, oleh karena itu ketentuan-ketentuan umum yang berlaku
dalam hukum acara perdata berlaku juga dalam hukum acara Peradilan Agama. Jadi
hubungan hukum acara Peradilan Agama dengan hukum acara perdata adalah sumber
hukumnya dan ketentuan-ketentuan yang berlaku sebagian besar adalah sama.
Sifat Hukum Acara : “sederhana, murah dan cepat” atau ”
Sederhana, cepat dan biaya ringan.” Peradilan cepat merupakan bagian dari hak asasi
manusia agar putusan segera dapat diaksanakan.
DAFTAR PUSTAKA
Bisri Cik Hasan, Peradilan Agama di
Indonesia .Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996.
Harahap M. Yahya, Kedudukan Kewenangan dan
Acara Peradilan Agama. Jakarta: Sinar Grafika, 2003.
Mertokusumo Sudikno,Hukum Acara Perdata
Indonesia Yogyakarta: Liberty, 1979.,
Prodjodikoro Wirdjono, Hukum Acara Perdata
di Indonesia Bandung: Penerbit Sumur Bandung,1984.
Rosyid roikhan, Hukum Acara Peradilan Agama.
jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005.
Subekti, Hukum
Pembuktian Jakarta: Pradnya Paramita, 1975.
Sudarsono, Heri. Bank dan Lembaga Keuangan
Lainnya. Yogyakarta: Adipura, 2004.
Supomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan
Negeri jakarta: Pradnya Paramita, 1972.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar