Rabu, 06 September 2017

ADVOKASI



Makalah :
TEKNIK ADVOKASI DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Oleh :
Husin R. Akuba









Jurusan Hukum Tata Negara
Fakultas Syariah
IAIN Sultan Amai Gorontalo
TA. 2017 / 2018

Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah
Tentu kita sering mendengar kata advokasi dan pemberdayaan masyarakat, benar sekali keduanya ini selalu berjalan seiring. Tanpa ada advokasi yang jelas maka pemberdayaan masyarakat tidak akan tercapai begitu pula sebaliknya. Pemberdayaan secara harfiah ialah sebuah proses, dimana proses ini merupakan kumpulan aktivitas masyarakat yang terorganisasi, proses ini ditujukan untuk meningkatkan kekuasaan, kapasitas serta kemampuan baik seacara personal, interpersonal maupun politik. Pemberdayaan berguna jika diterapkan dalam pekerjaan sosial dengan keluarga karena saling mendukung maka akan memperkuat pengembangan kapasitas anggota keluarga dan membantu dalam menginterpretasikan pekerjaan sosial dalam struktur masyarakat.
Mungkin terlintas dalam benak kita bahwa kata advokasi sering dipakai oleh para profesional hukum seperti; pengacara, polisi, hakim, dan kejaksaan. Advokasi itu memang relatif luas pengertiannya, bisa diartikan hukum atau non hukum. proses advokasi yang dilakukan membutuhkan pengorganisasian yang cukup matang agar pemberdayaan kelompok masyarakat dapat diajak melakukan advokasi. Untuk itu, Penulis mencoba mengeksplorasikan ide-ide yang ada dan menuangkannya dalam makalah ini. makalah ini akan melihat perdebatan konseptual untuk memahami lebih jauh tentang konsep pemberdayaan dan teknik advokasi.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah Pengertian Advokasi?
2. Bagaimana Proses Advokasi yang Baik Dalam Pemberdayaan Masyarakat?
3. Bagaimana Cara Mengelola Informasi yang Ada Dalam Advokasi?
4. Prinsip-Prinsip apa saja yang harus dipegang dalam beradvokasi?
5. Bagaimana strategi advokasi dalam pemberdayaan masyarakat?
6. Apa peranan advokasi dalam pemberdayaan masyarakat?
7. Mengapa Advokasi Perlu Dilakukan?

Bab II
PEMBAHASAN
TEKNIK ADVOKASI DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
1. Apakah Pengertian Advokasi itu?
Istilah advokasi lekat sekali dalam profesi hukum, menurut bahasa Belanda, advokasi itu berasal dari kata advocaat atau advocaateur yaitu pengacara atau pembela. Dalam bahasa Inggris, advokasi yaitu berasal dari kata to advocate yang artinya membela.
Dalam konsep pemberdayaan masyarakat dikalangan bawah, advokasi tidak hanya membela atau mendampingi masyarakat bawah, melainkan pula bersama-sama melakukan upaya-upaya perubahan sosial secara sistematis dan strategis.
Advokasi mudah sekali dilakukan, asalkan saja advokasi harus terorganisir dengan baik, dan jelas pembagian kerjanya, tak hanya itu saja bila kita siap ber-advokasi maka harus siap pula menanggung resiko yang ada karena setiap advokasi selalu ada yang menjadi korban, maksudnya korban disini ialah orang yang terkena masalah.
2. Bagaimana Proses Advokasi yang Baik Dalam Pemberdayaan Masyarakat?
Pemberdayaan dalam suatu perkumpulan atau komunitas dari kesadaran masing-masing anggota dari perkumpulan tersebut untuk memahami realitas dan kemudian menggunakan kekuatannya untuk menantang kekuatan yang dominan melalui perjuangan politik (Craig and Mayo, 1995). Semua orang bisa melakukannya, advokasi merupakan kerja tim/kelompok, ada pembagian tugas yang jelas.
Untuk melakukan advokasi, ada 3 konsep terkait yang perlu dicermati, yaitu: legitimasi (siapa yang diwakili oleh organisasi dan bagaimana hubungannya); kredibilitas (seberapa jauh organisasi dapat dipercaya); dan Pertanggungjawaban (bertanggungjawab atas kerjanya).
Adapun proses advokasi yang baik yaitu sbb:
a.       Memilih isu yang tepat untuk di advokasikan.
Sebelum memulai penelusuran advokasi, kita harus tau kasus/isu apa yang hendak kita advokasikan, karena dengan memilih isu yang tepat itu merupakan langkah awal kita untuk memulai pekerjaan.
b.      Menentukan tujuan dan target yang akan kita advokasikan
Ini penting untuk memandu pelaku advokasi dalam melaksanakan kegiatannya.
c.       Melakukan analisis dan mengkaji kasus / isu yang ada.
Fokuskan kasus apa yang akan kita advokasikan, analisis kasus dengan baik, riset kembali apabila ada isu/kasus yang bisa memicu/ menimbulkan propaganda arti.
d.      Bangunkan opini publik Mempengaruhi orang banyak dapat dilakukan melalui seminar, media cetak, media elektronik, brosur, spanduk, karena tujuannya adalah agar mendapatkan banyak dukungan oleh orang lain, itu merupakan hal yang penting.
e.        Membangun jaringan dan koalisi.
Jaringan dan koalisi dalam gerakan advokasi sangat penting dalam membangun legitimasi publik. Bahwa isu yang diperjuangkan haruslah didukung oleh orang banyak. Carilah organisasi yang memiliki visi perjuangan yang sama. Kalau perlu hubungi tokoh-tokoh masyarakat setempat.
f.       Melakukan loby,
mempengaruhi dan mendesak kebijakan  Lakukan lobby dengan orang orang yang terkait dengan kasus/isu yang akan diadvokasikan, pengaruhi mereka untuk mendukung kasus yang akan kita teliti.
g.       Refleksi
Lakukan evaluasi terhadap apa yang telah dilakukan karena advokasi sering memberikan hasil yang lain dari apa yang kita perkirakan. Suatu tim diperlukan untuk mengevalusi apa yang telah dicapai dan apa yang tetap harus dikerjakan secara teratur. Refleksi hendaknya digunakan sebagai langkah pertama dalam menganalisa kembali yang nantinya akan membawa kita pada siklus pekerjaan advokasi dan evaluasi yang terus menerus.
3. Bagaimana Cara Mengelola Informasi yang Ada Dalam Advokasi?
Pada saat organisasi berada di lapangan, akan sangat banyak informasi yang ditemui. Namun kemudian, informasi tersebut menjadi tidak berharga karena tidak terdokumentasikan dan terpublikasi. Sehingga, apa pun bentuk informasinya hendaklah harus terdokumentasikan.
Ada beberapa penyebab mengapa fenomena ini terjadi yaitu sebagai berikut:
1.Komitmen organisasi yang kurang kuat.
Dalam sebuah organisasi, jika belum adanya kesadaran akan pentingnya pendokumentasian informasi, tidak aneh jika banyak data yang sudah terdokumentasi sulit diakses karena tercecer. Bahkan, stafnya sendiri tidak mengetahui keberadaan sebuah data tersebut.
2.Implikasi dari tidak pentingnya sebuah informasi
Akibat dari lembaga yang kurang memiliki komitmen, maka sumber daya yang fokus untuk mengelola pun tidak disediakan, karena tentu akan menambah budget dan beban bagi lembaga tersebut.
3. Karena kebudayaan yang sudah melekat erat di Indonesia.
Budaya yang sudah melekat dalam diri seorang warga negara Indonesia yaitu lebih banyak bicara daripada mendokumentasikan suatu peristiwa. Sehingga, informasi jarang sekali terdokumentasikan dan dilacak, jika terjadi pergantian karyawan dalam sebuah organisasi. Lalu, jadi sulit untuk melacak apa saja yang telah dilakukan oleh generasi sebelumnya.
Padahal, jika semua informasi didokumentasikan, itu akan memudahkan kerja kita. Sebagai contoh ketika menemui banjir, kita bisa dengan mudah belajar, hal apa saja yang patut menjadi pertimbangan dan yang harus dilakukan seputar informasi banjir.
Untuk keluar dari persoalan tersebut, ada beberapa hal yang perlu untuk dilakukan. Komitmen dan peran pimpinan juga menjadi bagian yang sangat penting. Disamping itu juga harus melihat kebutuhan maupun output yang diinginkan, baru kemudian memilih sistem informasi teknologi yang sesuai dengan kebutuhan. Pekerjaan rutin yang terus-menerus terkait dari dokumen informasi, pengumpulan informasi, kompilasi data dan informasi akan menjadi sebuah pengetahuan.
4. Prinsip-Prinsip Apa Saja Yang Harus Dipegang Dalam Beradvokasi?
Tujuan advokasi adalah melakukan perubahan, dalam melakukan perubahan selalu akan terjadi pro-kontra, resistansi dan konflik, tegasnya tidak ada faktor yang pasti untuk keberhasilan advokasi.
Beberapa prinsip prinsip dibawah ini bisa dijadikan pedoman dalam melakukan advokasi, yaitu sebagai berikut:
a.       Realitas
Memilih isu dan agenda yang realistis, jangan buang waktu kita untuk sesuatu yang tidak mungkin tercapai.
b.      Sistematis
Advokasi memerlukan perencanaan yang akurat, kemas informasi semenarik mungkin dan libatkan media yang efektif.
c.       Taktis
Advokasi tidak mungkin bekerja sendiri, jalin koalisi dan aliansi terhadap sekutu. Sekutu dibangun berdasarkan kesamaan kepentingan dan saling percaya.
d.      Strategis
Kita dapat melakukan perubahan-perubahan untuk masyarakat dengan membuat strategis jitu agar advokasi berjalan dengan sukses.
e.        Berani
Jadikan isu dan strategis sebagai motor gerakan dan tetaplah berpijak pada agenda bersama.
5. Bagaimana Strategi Advokasi dalam Pemberdayaan Masyarakat?
Strategi advokasi di dalam pemberdayaan masyarkat dapat kita bagi dalam tiga strategi yaitu sebagai berikut:
1.      Strategi mikro
Yaitu penghubung sosial masyarakat atau penghubung klien dengan sumber-sumber di lingkungan sekitar. Adapun teknik yang dapat dilakukan adalah menjalin relasi kerjasama dengan profesi-profesi kunci, membangun kontak-kontak antara klien dengan lembaga-lembaga pelayanan sosial, mempelajari kebijakan-kebijakan dan syarat-syarat serta proses pemanfaatan sumber daya yang ada di dalam masyarakat.
2.    Strategi mezzo
Yaitu mediator, maksudnya disini adalah mewakili dan mendampingi kelompok-kelompok formal atau organisasi guna mengidentifikasi masalah sosial yang dihadapi secara bersama dalam merumuskan tujuan, mendiskusi solusi-solusi secara potensial, monitoring dan mengevaluasi rencana aksi. Teknik yang dapat dilakukan, antara lain, bersikap netral, tidak memihak, dan pada saat bersamaan percaya bahwa kerjasama yang dibuat dapat berjalan serta mendatangkan manfaat. Kemudian memfasilitasi pertukaran informasi secara terbuka di antara pihak yang terlibat, mengidentifikasi manfaat kerjasama yang timbul, menggali kesaman-kesamaan yang dimiliki oleh pihak terlibat konflik, mendefinisikan, mengkonfrontasikan dan menangani berbagai hambatan komunikasi.
2.      Strategi makro
Yaitu sebagai aktivis dan analis kebijakan. Advokasi berperan sebagai aktivis sosial, maka harus terlibat langsung dalam gerakan perubahan sosial dan aksi sosial bersama masyarakat. Wujud riil dari peran sebagai aktivis sosial adalah meningkatkan kesadaran publik terhadap masalah sosial, ketidak-adilan, memobilisasi sumber daya masyarakat untuk merubah kondisi-kondisi yang buruk dan tidak adil, melakukan lobi dan negosiasi agar terjadi perubahan di bidang hukum, termasuk melakukan class action.
Pilihan strategi juga ditentukan oleh pendekatan advokasi yang dipilih. Dalam teori advokasi, ada tiga pendekatan utama (Miller and Convey, 1997), yaitu:
1. Pendekatan untuk kepentingan umum (advocacy for).
ntuk melakukan pendekatan ini, harus menggunakan kaum professional dan pelobi yang ahli untuk melakukan advokasi, karena sistem politiknya terbuka dan adil. Sehingga, semua orang bisa mempengaruhi kebijakan publik. Masyarakat miskin dan kelompok kalangan bawah hanya tidak memiliki kesempatan untuk ini, sehingga para professional hukum bisa melakukannya untuk mereka;
2. Pendekatan tindakan yang dilakukan warga negara (advocacy with). Pendekatan menekankan pada ketidak-adilan sistem pengambilan keputusan politik dan ketidak-seimbangan kekuasaan yang ada di dalamnya. Sehingga, diperlukan tindakan masyarakat selaku warga negara untuk mendesakkan kepentingannya dalam penentuan kebijakan publik dan ;
3. Pendekatan transformasi (advocacy by).
Pendekatan ini dilakukan melalui pendidikan untuk mengembangkan alat berpikir kritis. Banyak sekali kendala yang dihadapi dalam melakukan pekerjaan sosial ini karena salah satunya ialah lembaganya merupakan sistem sosial yang selalu merendahkan kelompok minoritas tertentu. Dengan memberikan respon yang baik kepada semua orang yang datang ke lembaga secara adil akan mengurangi diskriminasi.
Strategi pemberdayaan mengharuskan adanya komitmen yang kuat untuk mempertahankan dan meningkatkan pelayanan adil yang efektif dan juga konfrontasi terhadap penilaian negatif yang sudah meresap. Menurut Solmon kebanyakan orang bergerak dalam tiga tingkatan perkembangan:
Pengalaman positif dalam awal kehidupan keluarga yang memberikan kepercayaan serta kompetensi dalam interaksi sosial dan memperkuat kemampuan untuk mengatur hubungan relasi sosial dan menggunakan institusi sosial untuk mencapai kompetensi sehingga dapat menerima dan melaksanakan dengan baik peranan sosial yang bernilai.
Halangan kekuatan tidak secara langsung mempengaruhi setiap tingkatan. Pengalaman negative sejak dini akan mengurangi kepercayaan dalam interaksi sosial yang kemudian akan mengurangi pencapaian tingkatan kedua dan merintangi pertumbuhan kapasitas untuk melaksanakan peranan sosial yang bernilai pada tingkatan ketiga.
Menurut Solmon, karena pekerjaan sosial lebih mengkonsentrasikan pada pengubahan individu bukan pengubahan institusi maka melemah menghadapi rintangan kekuasaan.
Tujuan pemberdayaan adalah membantu klien untuk melihat
diri mereka sendiri sebagai causal agents dalam menemukan solusi masalahnya, pekerjaan sosial harus memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang nantinya dapat digunakan masyarakat, serta pekerjaan sosial sebagai sesame dan partner dalam mencari pemecahan masalah yang terjadi.
Peranan advokasi yang terbaik dalam penberdayaan adalah:
Konsulltan sumber daya menghubungkan klien dengan sumber daya dengan cara yang dapat meningkatkan self system dan kemampuan memecahkan masalah.
Sensitier membantu klien memperoleh pengetahuan tentang dirinya. Guru / trainer mangajarkan proses dan ketrampilan yang memungkinkan klien menyelesaikan tugas spesifik.
Strategi advokasi dan pemberdayaan yang terbukti menarik dalam hari yang lalu yaitu penindasan kaum kaya terhadap kaum miskin karena dicurigai sebagai pencuri bebebarapa kilogram randu kering. Keprihatinan terhadap penindasan kaum miskin ini membuat berbagai kalangan media begitu serius menyoroti kasus ini, untuk mendukung kaum miskin tersebut dan untuk melihatkan bahwa ada ketidak-adilan hukum yang terjadi pada hukum di Indonesia sekarang ini.
Advokasi di kembangkan sebagai bagian dari gerakan mengeluarkan orang yang mungkin tidak bersalah atau bahkan orang yang telah lama ditahan di institusi tersebut. Beberapa bentuk pelaksanaannya jika tidak hati hati akan membuat orang tergantung pada keahlian pekerja sosial advokasi tersebut.
6. Apa Peranan Civil Society terhadap teknik advokasi dan pemberdayaan masyarakat?
Absori menyatakan peran masyarakat sipil haruslah dilakukan melalui berbagai upaya yakni lewat opini publik dan akses informasi publik di bidang keamanan, serta keterlibatan dalam pembuatan sejumlah UU serta mengkritisi rancangan undang-undang yang berkaitan dengan sektor keamanan.
Advokasi dan pemberdayaan masyarakat yang terkait dengan keamanan, serta penegakan hukum terkait dengan penanganan pelanggaran hak asasi manusia dan pemberantasan terorisme juga harus mendapat perhatian.
Upaya-upaya pemberdayaan masyarakat seharusnya mampu berperan meningkatkan kualitas sumberdaya manusia (SDM) terutama dalam membentuk dan merubah perilaku masyarakat untuk mencapai taraf hidup yang lebih berkualitas.
Menurut Absori, advokasi di bidang hukum dapat dilakukan melalui berbagai upaya. Sayangnya, pra-peradilan dalam berbagai kasus korban penculikan, kekerasan, dan salah tangkap, serta gugatan class action hingga kini belum menunjukan hasil yang signifikan.
7. Mengapa Advokasi Perlu Dilakukan?
Ini keterkaitan antara konsep persinggungan antara negara dengan masyarakat sipil dan pasar. Negara dianggap sebagai wilayah publik yang menyentuh semua kehidupan warga negara, karena semua kebijakan yang mengatur warga ditentukan oleh negara. Sedangkan pasar adalah mesin ekonomi masyarakat, yang seringkali hanya dikendalikan oleh sekelompok perusahaan besar. Masyarakat sipil, yang dibanyak negara, adalah aktor yang paling lemah apabila dibandingkan dengan negara dan pasar. Sehingga, penetapan keputusan penting tentang masyarakat banyak ditentukan oleh penguasa Negara dan pengusaha besar. Disini, advokasi dibutuhkan oleh masyarakat sipil untuk meningkatkan kekuatannya sehingga mampu mempengaruhi dan menentukan kebijakan publik yang dibuat oleh negara.
Perdebatan konseptual menunjukkan bahwa pemberdayaan dan advokasi adalah bagaikan dua sisi mata uang. Keduanya memiliki tujuan akhir yang sama, yaitu perubahan sosial di masyarakat menuju masyarakat yang lebih bermartabat dan sejahtera. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, perlu dilakukan kedua aksi ini sekaligus, yang meletakkan masyarakat dan para pengambil kebijakan sebagai sasaran utamanya.
Disamping itu pula, perlu pengembangan organisasi, ekonomi jaringan dan faktor-faktor pendukung lainnya. Dengan usaha pemberdayaan masyarakat yang demikian itu, mudah-mudahan dapat membebaskan mereka dari kemiskinan dan keterbelakangan untuk menuju kehidupan yang lebih baik.
Sebagai penutup dari makalah ini ialah tidak ada kesejahteraan sosial tanpa keadilan sosial dan tidak ada keadilan sosial tanpa ada advokasi sosial.

Advokasi Kepada Masyarakat dalam Sengketa Tanah
Ada banyak kasus sengketa agraria khusus dalam bidang pertanahan yang terjadi di masyarakat, terutama sisa-sisa masalah Orde Baru maupun akibat pemiskinan struktural. Pemiskinan struktural adalah pemiskinan akibat pemerintahan yang memihak kepada struktur masyarakat pengusaha dan mengorbankan masyarakat lemah.
Pembebasan tanah rakyat secara paksa selain menghilangkan hak-hak milik atas tanah juga menyebabkan perpindahan penduduk yang semakin miskin mencari lahan-lahan kosong (tanah bebas) di berbagai daerah, menetap bertani selama puluhan tahun. Selanjutnya ketika ada pemilik kapital – baik pemerintah sendiri melalui BUMN atau BUMD maupun swasta – yang menghendaki tanah yang dikelola masyarakat miskin tersebut maka dilakukan pengosongan paksa dan kriminalisasi. Contoh kasus ini yang paling mutakhir adalah sengketa pertanahan antara masyarakat Margorukun Lestari Desa Kebonrejo, Kecamatan Kalibaru, Banyuwangi melawan PTPN XII, sebuah BUMN yang bergerak di bidang perkebunan.
Sedangkan contoh sisa kasus sengketa pertanahan akibat pembebasan paksa jaman Orde Baru adalah kasus Alastlogo Pasuruan, kasus tambak garam Kalianget di Sumenep (masih bersifat laten atau belum terang-terangan). Ada pula kasus tanah sisa zaman Belanda seperti contohnya pada kasus tanah Sendi, Pacet, Mojokerto. Selain itu, di zaman reformasi juga terdapat modus-modus tukar guling tanah-tanah masyarakat bekas tanah desa yang sudah diubah menjadi kelurahan.
Tampaknya kasus-kasus tanah rakyat akan terus berlangsung dan membutuhkan perhatian tersendiri. Dalam beberapa contoh kasus tersebut seringkali berujung pada sengketa hukum yang tidak memberikan kesempatan kepada masyarakat korban yang lemah untuk dapat menikmati hak keadilan mereka.


Fenomena gaya pikir hukum legal formal dan positivistik ditambah dengan praktik penegakan hukum yang korup menjadi masalah penting yang menghambat pemenuhan hak keadilan sebagai bagian dari hak asasi manusia (HAM) yang telah diakui dalam amandemen UUD 1945 dan secara khusus dirumuskan dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Dalam keadaan seperti itulah advokasi menjadi sebuah kebutuhan bagi masyarakat yang kurang mampu secara ekonomi dan intelektual. Tanpa ada upaya-upaya pembelaan kepada masyarakat lemah yang ditindas oleh oligarki kekuasaan politik-ekonomi maka hak keadilan hanya masih menjadi utopia.
Dalam konstruksi pemikiran hukum yang sejati, hukum adalah untuk keadilan. Para intelektual hukum yang membiarkan adanya penindasan adalah para intelektual yang tidak bertanggung jawab, sebagaimana pendidikan hukum mengamanatkan tegakknya hukum dan keadilan yang dalam pengertian lebih rasional adalah adanya upaya-upaya dan pekerjaan yang bersifat sosial, nonkomersial, untuk membantu masyarakat lemah ekonomi dan intelektual agar dapat berpartisipasi dalam hidup bernegara yang lebih adil.
BENTUK ADVOKASI
Masyarakat lemah dalam kasus-kasus sengketa pertanahan melawan penguasa (ekonomi) menurut pengalaman sekurang-kurangnya dapat dibagi menjadi beberapa jenis kategori menurut perspektif legalitas hukumnya, yaitu:
1.      Kategori pertama: Masyarakat korban pembebasan tanah secara paksa yang mempunyai sisa-sisa bukti formal berupa girik atau petok D;
2.      Kategori kedua: Masyarakat korban pembebasan tanah secara paksa yang kehilangan surat-surat bukti hak;
3.      Kategori ketiga: Masyarakat yang menempati dan mengelola tanah-tanah bebas yang tidak mempunyai alat bukti hak atas tanah, lalu berhadapan dengan korporasi yang memperoleh hak formal atas tanah negara;
4.      Kategori keempat: Masyarakat yang kehilangan hak kolektif atas tanah karena perubahan status desa menjadi kelurahan.
Di luar keempat kategori tersebut dimungkinkan ada jenis lainnya.
 Cara menilai aspek legalitas dari keempat jenis atau kategori tersebut sebagai berikut:
Ø  Kategori pertama: penegak hukum lebih mudah mengakui hak mereka, tetapi tidak jarang penegak hukum terjebak dalam pemikiran legal formal jika ternyata lawan masyarakat tersebut mempunyai alat bukti sertifikat hak atas tanah. Cara mereka berpikir adalah: sertifikat lebih kuat dibandingkan girik atau petok. Cara berpikir ini mestinya tidak benar, sebab sertifikat hak atas tanah dimungkinkan untuk dibatalkan atau menjadi tidak sah jika diperoleh dengan cara-cara yang tidak benar.
Ø  Kategori kedua: penegak hukum cenderung tidak mengakui hak masyarakat atas tanah yang tidak dibuktikan dengan alat bukti surat. Cara pikir itu juga keliru sebab bahkan dalam PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah pun diatur cara pembuktian hak lama dengan keterangan kepala desa yang menerangkan penguasaan fisik tanah selama 20 tahun tanpa gangguan hak, jika alat bukti surat tidak ditemukan (pasal 24 ayat 2 jo. pasal 39 ayat 1 huruf b angka 1).
Ø  Kategori ketiga: Penegak hukum akan membela korporasi yang mempunyai alat bukti hak berupa sertifikat hak atas tanah dan cenderung tidak mau meneliti apakah sertifikat serta gambar situasi atau surat ukurnya sesuai kenyataan atau tidak.
Ø  Kategori keempat: Penegak hukum mengikuti ketentuan hukum administrasi negara sehingga tidak lagi mengakui hak kolektif masyarakat bekas pemilik hak kolektif atas tanah. Dalam hal ini tanah jatuh menjadi tanah negara.
Bentuk advokasi yang dilakukan berkaitan dengan sengketa pertanahan tersebut pada dasarnya sesuai prinsip manajemen. Advokasi hendaknya dilakukan secara terstruktur, sedapat mungkin beraliansi dengan organisasi lainnya termasuk merangkul kekuatan-kekuatan lokal baik organisasi kemahasiswaan, keagamaan, kepemudaan, paguyuban masyarakat yang ada dan lain-lain.
Ø  Pertama, ddvokasi dilakukan dengan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan evaluasi. dalam hal advokasi dilakukan secara sindikasi atau konsorsium maka perencanaan disusun secara bersama-sama, termasuk menyepakati target-target yang akan dicapai dan tindakan-tindakan lain ketika target serta tujuan tidak tercapai.
Ø  Kedua, memulai advokasi dengan membentuk kelompok belajar bagi warga: para pemuda, ibu-ibu, bapak-bapak, lalu mereka bertemu dalam bentuk paguyuban warga. Ini selanjutnya akan menjadi organisasi rakyat yang di dalamnya terdapat kepengurusan dan cara penggalangan dana perjuangan mereka. Organisasi perjuangan rakyat ini sangat penting agar pertama-tama terwujud manajemen gerakan masyarakat yang lebih rapi dan teratur, mampu menggerakkan semangat bersama, mengantisipasi segala keberhasilan dan yang penting siap menghadapi kegagalan-kegagalan. Kegiatan belajar bersama yang materinya adalah tentang hukum pertanahan, HAM, organisasi pemerintahan akan memperkuat pengetahuan masyarakat yang selama ini lemah secara intelektual karena pendidikan mereka yang rata-rata rendah atau bahkan banyak yang tidak pernah sekolah.
Ø  Ketiga, menyusun strategi tentang arah perjuangan dan apa saja yang akan dilakukan oleh organisasi masyarakat yang diadvokasi. Dalam keadaan-keadaan tertentu terkadang penting untuk melibatkan struktur politik terlibat turut memberikan dukungan gerakan masyarakat untuk mencapai tujuan mereka. Kasus Margorukun Lestari Banyuwangi adalah contoh kurangnya dukungan jaringan organisasi dan struktur politik. Tetapi sebaliknya kasus tanah Desa Sendi Mojokerto mendapatkan dukungan yang amat luas, termasuk kekuatan politik lokal. Dalam gerakan sosial itu hambatan yang paling sering terjadi adalah perpecahan di kalangan masyarakat sendiri yang memperlemah gerakan. Kadangkala dapat diatasi dan dapat dipersatukan tetapi banyak pula yang sulit dipersatukan. Evaluasi advokasi dilakukan secara periodik dalam pertemuan-pertemuan evaluasi. Tak jarang bahkan dalam advokasi konsorsium terjadi kesalahpahaman dan perpecahan antar aktivis atau organisasi yang melakukan advokasi.
Ø  Keempat, setelah organisasi masyarakat terbentuk dan lebih matang dalam pengetahuan serta keberanian berargumentasi maka tiba saatnya melakukan hal-hal yang disepakati. Bagian-bagian organisasi masyarakat, misalnya: lobi, humas, hukum, penggalangan dana, pengorganisasian, pendidikan, dan lain-lain mulai digerakkan. Surat-menyurat dilakukan, mendatangai lembaga atau pejabat yang berwenang, mengumpulkan data-data sebanyak-banyaknya adalah sangat penting, serta menggalang dukungan seluas-luasnya, melakukan demonstrasi dalam hal upaya lobi dan korespondensi kurang mendapatkan perhatian.
Sedapat mungkin dalam advokasi untuk tidak terburu-buru mengajukan upaya hukum. Upaya hukum akan dilakukan jika terdapat tanda-tanda dukungan dari para penegak hukum. Untuk mencari dukungan penegak hukum maka organisasi masyarakat dan para pendampingnya harus meluangkan waktu untuk berkomunikasi dengan para penegak hukum dalam rangka membuka wacana tentang persoalan yang dihadapi masyarakat.
PRINSIP ADVOKASI
Advokasi dilakukan hendaknya tidak dengan gaya berpikir legal formal atau positivistik. Advokasi pada prinsipnya adalah BERPIHAK KEPADA YANG LEMAH. Meski dalam hal ini tidak bermaksud untuk membenarkan suatu kesalahan.
Sebagai ilustrasi dalam melakukan advokasi dapat diberikan contoh penerapan hukum pada jaman Nabi Muhammad dan para khalifah yang adil, di mana para pencuri yang miskin diberikan ampunan dan negara diwajibkan untuk mengurusi kebutuhan keluarganya hingga mampu.
Tetapi dalam praktiknya di Indonesia terjadi hal yang sebaliknya, di mana dilakukan kriminalisasi kepada kaum lemah, dengan cara rekayasa hukum. Hukum ditegakkan dengan cara melanggar hukum. Orang yang miskin hidup di tanah negara dipenjara dengan alasan tidak mempunyai dasar hak, tetapi negara membiarkannya dalam keadaan miskin. Itu adalah contoh pelanggaran HAM oleh pemerintah sebab pemerintah (pusat dan daerah) wajib menegakkan dan memenuhi HAM warga negara (pasal 28 I ayat 4 UUD 1945).
Hal yang mendasar dalam negara hukum Indonesia yang selama ini dilupakan adalah pelaksanaan keadilan sosial. Dengan semakin banyaknya produk hukum yang disisipi kepentingan para pemilik kapital maka advokasi juga harus mengarah pada kontrol penyusunan berbagai peraturan perundang-undangan, termasuk tentang tataguna usaha tanah dan rencana tata wilayah.
Advokasi juga dilakukan dalam rangka menciptakan kemandirian sosial di mana rakyat tidak lagi bergantung kepada pemerintah.

















BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari makalah diatas jadi yang dapat disimpulkan bahwa advokasi merupakan pekerjaan sosial yang bisa dilakukan oleh semua orang, tidak hanya orang-orang yang bekerja dalam lingkup professional hukum.
Dalam melakukan teknik advokasi yang baik diperlukan kerjasama tim/kelompok yang solid, yang memegang erat prinsip-prinsip bersama, mempunyai visi bersama atau kepentingan bersama dan fokus untuk memecahkan masalah.
Dalam melakukan advokasi, diperlukan dukungan yang banyak dari masyarakat kalau perlu pakai media-media yang efektif untuk membuat masyarakat semakin mendukung kita
Organisir dengan baik segala bentuk advokasi, cari informasi sebanyak-banyaknya dan kelola jangan sampai menimbulkan arti yang propaganda karena itu dapat membahayakan, hati-hati dalam beradvokasi, teliti lagi dan libatkan masyarakat banyak.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar