Kamis, 07 September 2017

POLITIK INDONESIA



Manusia dari kodratnya adalah binatang yang berpolitik. ~ Aristoteles

Politisi dan popok (pempers) bayi harus sering diganti dan keduanya dilakukan karena alasan yang sama.

Realitas Politik Saat Ini Tidak Lebih Dari Menjadikan Rakyat Sebagai “NUMERIK” ~Husin R. Akuba #HRA

KEGALAUAN POLITIK
Husin R. Akuba
insha Allah hari ini kita semua berada ditengah kasih sayang keluarga yang membahagiakan, dengannya perasaan damai yang indah menyertai Anda sekeluarga menuju cita-cita bersama.
Beberapa waktu belakangan ini, perhatian saya terbagi dengan peran-peran kepemimpinan di negara tercinta ini. Isu ini sangat menarik untuk diikuti dan ditelaah karena melibatkan banyak orang dan biaya didalamnya.
Dari apa yang telah saya pelajari, paling tidak ada dua hal yang mendorong kepemimpinan seseorang berjalan dengan efektif, yang pertama adalah memastikan orang untuk bertanggung jawab terhadap hidupnya, dan yang kedua menciptakan visi dan/atau program-program yang orang mau mencapai bersama dengannya.
UNTUK ITU RAPATKAN BARISAN UNTUK INDONESIA HEBAT

Politik itu bukan hanya seni mengelola kemungkinan, tapi juga seni mengelola harapan. Itu juga berlaku bagi kita sebagai pemilih. Seringkali kita menaruh harapan terlalu tinggi kepada seorang figur atau sebuah sistem. Saat masuk ke bilik suara atau menyaksikan sebuah kampanye, mungkin kita melihat seorang figur seperti malaikat. Namun, bahkan seorang malaikat pun harus berkubang dalam seni mengelola kekuasaan ketika ia telah terpilih dan ditarik oleh berbagai kepentingan. Pemilih kecewa. Namun bagi pelakunya, politik juga adalah seni mengelola kekecewaan. Bila politik adalah seni mengelola kekecewaan, maka pemilih sebaiknya tahu sejauh mana ekspektasi mereka perlu diletakkan. (HRA)

SALAH satu pelajaran politik atau perkembangan budaya politik di negeri kita, Indonesia beberapa tahun terahir adalah sebuah kenyataan kerja politik yang ternyata lebih didedikasikan pada (upaya merebut atau mempertahankan) kekuasaan, ketimbang mempertimbangkan nilai ideal (luhur) yang justru menjadi dasar keadaban lahirnya politik itu sendiri: menata dan mengelola negeri semata untuk kemajuan yang memuliakan spesies utama di muka bumi ini, manusia (baca: warga negara).
1.   MEMBANGUN BUDAYA POLITIK YANG SANTUN DAN BERADAB
Berdasar pada orientasi kekuasaan yang dominan, yang sebagiannya hanya menjadi pretext bagi nafsu untuk mengakses atau menguasai berbagai fasilitas sosial dan ekonomi itu, politik di negeri ini berkembang dalam satu bentuk kultur yang dipenuhi konflik, baik secara praktis maupun diskursif. Konflik yang sekali lagi, bermuara pada kekuasaan, antara mereka yang memegangnya (kekuasaan) atau tidak. Ditambah lagi dengan orientasi kelompok yang mendominasi, kecenderungan gaya dan pola hidup permisif, acuh tak acuh, minus empati, krisis moralitas sehingga pola hidup hedonistis, maka negeri ini pun seperti dibombardir kegaduhan yang nyaris tak selesai (Radha Panca Dahana, 2015).
Kalau dikaji lebih jauh, maka kita akan menemukan penyakit kronis-berbahaya seputar praktik politik, misalnya, elite politik gagal menunaikan tugasnya sebagai katalisator politik bagi publik. Sebagai katalisator, parpol dimana elite politik bernaung, seringkali tidak bertanggung jawab dalam menyerap aspirasi rakyat. Alih-alih parpol justru lebih sibuk dengan konflik internalnya masing-masing. Publik lagi-lagi hanya menjadi korban manipulasi dan janji politik yang sering dijejali oleh para elite politik.
Hal lain, elite politik masih terjebak dalam lubang pragmatisme dan egoisme politik. Ya, faktanya, elite politik lebih asyik berpuisi dan menjejali publik dengan bait-bait indah melalui pidato, wacana, seminar bahkan janji-janji. Di saat elite politik sibuk dengan dirinya sendiri, esensi politik pada dasarnya sudah tak lagi berpijak pada deon (keharusan moral), melainkan hanya berpijak pada telos (tujuan yang hendak dicapai). Sehingga, orientasi politik hanya berfokus pada strategi dan cara meraih kekuasaan dan mencapai kepentingan kelompok semata. Lalu, keharusan moral kekuasaan atau elite politik yang harus dilakukan sebagai wujud timbal-balik karena telah diberi mandat oleh rakyat, malah terabaikan. Bahkan, kesantunan politik menjadi nihil dan ternegasikan.
Perilaku Politik Santun  Dalam memandang Indonesia yang lebih maju, terutama dalam menghadirkan politik yang dinamis dan mendidik, maka kita membutuhkan kesantunan politik yang terejahwantah dalam beberapa hal penting,
Pertama,    siap menang dan siap kalah. Sebagaimana lumrahnya sebuah perlombaan atau kompetesi selalu ada yang menang juga yang kalah. Dalam perhelatan politik pun demikian. Mereka yang mendapat mandat rakyat untuk menjadi penggawa di berbagai institusi negara (terutama Eksekutif, Legislatif) mesti menyadari bahwa kemenangan atau mendapat mandat bukanlah kesempatan untuk membangga-banggakan diri, tapi sebagai alarm bahwa ada tanggung jawab yang mesti diemban. Sungguh banyak amanah rakyat yang mesti ditunaikan untuk sebuah jabatan. Keterpilihan bukanlah ajang pemuas hawa nafsu demi kepentingan pribadi dan golongan tapi untuk menjalankan amanah rakyat dan tugas negara.
Bagi mereka yang tak terpilih (baca: kalah), perlu menyadari bahwa kekalahan bukanlah aib yang memalukan. Ia justru produk kompetisi dalam segala dimensi yang menghasilkan “menang” dan “kalah” sebagai konsekwensi dari apapun jenis kompetesinya, lebih khususnya kompetesi politik. Kalah adalah pengingat terbaik bahwa masih banyak hal yang mesti dibenahi dan dipersiapan jika ingin melakoni peran sebagai pejabat publik. Selebihnya, masih banyak pekerjaan besar yang dapat ditunaikan tanpa melalui sarana atau jabatan publik.
Kedua,        memiliki kepekaan etis. Kita tentu tidak perlu menagih banyak kepekaan etis kepada rakyat-publik, sebab dalam teorinya, rakyat itu bagaimana perilaku pemimpinnya. Para pemimpinlah yang semestinya meningkatkan saldo kepekaan di saat kondisi bangsa yang terus menghadapi berbagai persoalan yang serba rumit dan pelik ini. Menurut Yudi Latif (2010), kepekaan etis senantiasa menempatkan keadilan di atas hukum dan nalar jabatan struktural. Dalam rasa keadilan, pejabat negara dalam perilaku dan gaya hidupnya harus menenggang simpul terlemah dari jutaan rakyat kecil yang terempas dan terputus. Sederhananya, sang pejabat publik merasa tidak pantas dan tidak mau menerima berbagai kelengkapan yang serba “wah” dari negara manakala masih ada seorang warga di bumi pertiwi ini yang miskin atau yatim piatu dan layak mendapatkan bantuan. Sang pejabat akan muncul rasa iba, empati dan kasih sayang dalam dirinya di saat puluhan juta rakyat masih terkategori “layak dibantu”.
Ketiga,        menjalankan mandat dengan mental dan jiwa kepahlawanan. Dalam demokrasi, tentang siapa mewakili siapa, sesunguhnya merupakan pertanyaan politik paling mendasar, sebab ini soal legitimasi. Dalam sistem kepartaian, rakyat dianggap telah terwakili jika mereka telah ikut pemilu seperti pileg, pilpres dan pilkada; karena itu adalah mekanisme yang dianggap paling sah dalam berpartisipasi politik. Tetapi masalahnya, apakah mereka yang mendapat mandat bisa melakukan artikulasi terhadap aspirasi rakyat, khususnya yang disebut sebagai politik pergulatan hidup (human struggle) sehari-hari—dalam konteks nasional, termasuk dalam mengakhiri kemelut kasus hukum yang akhir-akhir ini sudah terpampang jelas sekaligus norak?
Diantara hal yang amat tragis dalam perkembangan politik suatu bangsa bila penerima mandat telah melakukan praktik manipulasi kekuasaan, sementara itu terjadi kekosongan the signifier dalam masyarakat tersebut yang sanggup mengartikulasikan politik keresahan sosial, terutama dari kalangan mereka yang selama ini disebut sebagai orang-orang tertindas (the subordinatin of people).
Dalam kondisi politik yang terselimuti berbagai tindak-tanduk yang culas, rakyat butuh praktik politik santun para elite. Politik santun dapat dipahami sejaumana kepekaan para elite. Dalam konteks pemerintahan, kepekaan terlihat dari berbagai bentuk kebijakan publik, keputusan politik dan serupanya—yang terdorong oleh kepekaan politik dan upaya sadar para elite politik, yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan rakyat banyak. “Jika politik kebanyakan akrobatik tanpa isi dan pesan, maka rakyat sebagai lakon utama demokrasi secara sadar dinegasikan dari panggung demokrasi-politik sebagai hak azasinya” (Eep Saefulloh Fatah, 2013).
Kesantunan politik merupakan keniscayaan dalam menatap politik bangsa yang berwatak maju dan beradab. Dengan begitu, politik tidak dimaknai dan dipraktikkan secara keliru—seperti yang pernah disinggung Groucho Marx (2000)—bahwa, “politik adalah seni mencari masalah, menemukan masalah di mana-mana, mendiagnosis secara serampangan dan memberikan obat yang salah”, tapi justru dipraktikkan secara santun dan manusiawi yang terejahwantah dalam kebijakan politik yang pro rakyat dan kaum lemah.

2.   MASALAH DAN SOLUSI PERPOLITIKAN INDNESIA

Kondisi politik di Indonesia saat ini sangat buruk. Hal ini disebabkan oleh penurunan politik Indonesia tidak sehat. Banyak politisi di negeri ini yang terlibat dalam kasus korupsi. Sebenarnya, apa yang dibutuhkan bukanlah popularitas tetapi kinerja yang optimal yang dapat membangun Indonesia yang sangat baik politik.
Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat, antara lain, membentuk proses pengambilan keputusan, terutama di negara bagian. Kebanyakan orang tahu Indonesia politik Indonesia yang kotor karena ada banyak hal yang membuat politik kotor. Hal ini membuat negara kita semakin terpuruk.

A.     Mengurai  Masalah-Masalah Politik Di Indonesia Saat Ini

Dengan kekuasaan negara di tengah-tengah dari seluruh rakyat Indonesia yang multi-budaya, otoritas politik harus tidak hanya menyederhanakan masalah melalui praktek politik jargon seperti: bentuk integrasi, keragaman dan hegemonik kekuasaan feodal.
Bahkan, seperti itu atau tidak, tuntutan perubahan bangsa yang beragam di Indonesia, akan terus menjadi kebutuhan politik yang sulit bagi kita untuk mengandung. Dalam perspektif seperti itu, adalah tepat, kita butuhkan sekarang adalah model kekuasaan Indonesia yang cerdas, dalam arti mampu melihat ancaman potensial.
Masalahnya adalah, model demokrasi yang menekankan kesadaran pluralitas, menjadi semangat berbasis egalitarianisme-isi prasyarat dan sangat kompleks. Dengan kata lain, jika kita akan mempertahankan konsepsi politik negara dalam bentuk wacana integratif atau kita mengubahnya menjadi bentuk negara-pluralisti seperti yang kita merenungkan feredartif bentuk negara.
Pada tingkat tersebut yang, di masa depan ketika kita benar-benar memasuki perubahan bahwa "kita tidak mengenal". Dalam konteks ini, klaim bahwa Indonesia adalah budaya kekerasan (budaya kekerasan) adalah klaim politik yang dapat digunakan untuk membenarkan kembalinya penguasa yang otoriter dan kekerasan negara berikutnya. Apalagi jika kita melihat keragaman budaya, sebagai modal sosial, maka kita melihat bahwa hetrogenitas ia menawarkan jalur baru hari yang akan datang akan memberikan alternatif cara reformasi politik di Indonesia. Meski begitu, di bawah bias interpretasi penuh semangat yang demokratis dan pluralistik pembaharuan adalah pilihan yang sangat sulit untuk hidup di negara ini.

Langkah-langkah untuk mengetahui, meskipun sulit untuk mengatakan, mengapa dan bagaimana demokrasi adalah jalan curam untuk sebuah prasyarat perubahan, kita dapat menafsirkan kembali peristiwa perubahan semua sebagai bagian integral untuk terus melakukan yang buruk untuk membangun kembali, catatan panjang kegagalan bangsa ini mencari bentuk yang paling ideal. Bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa ramah, sopan, halus dan lembut mungkin akan hanya menjadi kenangan masa lalu. Indonesia kenangan perdamaian, akan menjadi bagian integral lanjutan dari harapan mayoritas bangsa kita.

B.     Dampak Masalah Hukum Terhadap Masalah Politik Di Indonesia

Dalam kehidupan politik saat ini terdapat masalah hukum yang membuat perpolitikan Indonesia tidak stabil dan tumbuh tidak sehat. Masalah hukum itu dapat dijadikan bargaining politik bagi siapapun pelaku politik negeri ini. Budaya yang tidak sehat inilah yang membuat pertentangan politik di Indonesia semakin tidak berkualitas. Hal inilah yang membuat kontrapoduktif dalam bangsa ini.  
Budaya buruk politik ini selain tidak berkualitas juga dapat membuat bangsa ini hanya didominasi pertentangan tidak cerdas pada topik tidak berkualitas yang menutupi pikiran membangun bangsa. 
Masalah politik di Indonesia erat hubungannya dengan masalah-masalah penegakan supremasi hukum yang lemah karena feodalisme lembaga-lembaga hukum terhadap pemegang kekuasaan. Hal ini juga dipicu oleh masalah ekonomi partai maupun kepentingan golongan.

C.   Partai Politik: Realita, Permasalahan dan Solusi
Dalam berbagai survey terhadap masyarakat yang dilakukan oleh Lembaga – lembaga survey nasional, Organisasi Parpol ditempatkan pada posisi yang sangat buruk. Parpol tidak lagi dipandang sebagai penunjang harapan rakyat. Parpol dilihat sebagai sumber masalah, karena selalu kisruh sesama, membuat kegaduhan politik, menggangu kepentingan umum, tidak bekerja, tidak berfungsi, tidak simpatik , tidak memikirkan rakyat, identik dengan korupsi dan lain sebagainya.
Hal buruk ini semakin masif dampaknya karena media massa baik cetak, elektronik maupun online juga menyorot dan mempublikasikan sisi negatif Parpol tersebut. Parpol di anggap tidak mampu memberikan optimisme bernegara, tidak mampu menampilkan figur-figur calon pemimpin yang berkarakter negarawan. Parpol dianggap tidak membuka/memberi harapan hidup lebih baik untuk rakyat. Alhasil, tidak heran bila tingkat partisipasi politik masyarakat dalam berbagai agenda politik nasional seperti Pemilu atau Pilkada menjadi sangat rendah. Komitmen kehidupan berbangsa bernegara dipertaruhkan.
Demokrasi sudah tentu membutuhkan Parpol sebagai agen of change (penentu) kualitas kehidupan berbangsa bernegara. Demokrasi yang sehat dan kuat sudah tentu harus ditopang oleh Parpol yang sehat dan kuat.  Kondisi saat ini Parpol belumlah sehat dan kuat. 
Jika dilihat secara objektif, Indonesia adalah negara besar, kaya dan luas, sudah tentu banyak kepentingan-kepentingan yang ingin mengusai Indonesia. Maka sudah pasti Parpol nasional di Indonesia juga harus besar, kuat dan memiliki idealisme. Hal ini memiliki konsekwensi yaitu membutuhkan biaya Parpol yang besar, sistem rekrutmen yang berkualitas dan kehidupan demokratisasi Parpol yang sehat.
Besarnya biaya Parpol di Indonesia adalah konsekwensi logis dari besarnya luas wilayah dan jumlah penduduk. Karena secara fisik operasional kegiatan-kegiatan Parpol membutuhkan biaya yang besar. Oleh karenanya pembiayaan Parpol dari bantuan negara yang berlaku saat ini yaitu Rp.110 per suara ditambah iuaran anggota secara sukarela adalah diluar logika matematis untuk kecukupan. Faktanya jelas, bahwa saat ini pemimpin-pemimpin Parpol nasional adalah orang-orang yang memiliki kekayaan materi alias kalangan pengusaha (pemodal) atau orang-orang yang dekat dengan sumber-sumber kekuasaan (pejabat). Itulah yang terjadi baik pada kepemimpinan Parpol tingkat pusat maupun daerah. Akibatnya kepemimpinan Parpol tidak berbeda dengan kepemimpinan perusahaan alias korporasi, dampaknya fatal yaitu orientasi idealisme (nasionalisme) berubah menjadi orientasi pragmatisme (profit). Solusinya jelas, Parpol sebagai aset negara wajib diperhatikan lebih demi kestabilan negara, sehingga dalam hal pembiayaan Parpol, negawa wajib hadir dengan memberikan bantuan pembiayaan Parpol yang sesuai dengan luas wilayah dan jumlah penduduk Indonesia.
Efek domino dari budaya perusahaan alias korporasi dalam kepemimpinan Parpol adalah sistem rekrutmen yang tidak berkualitas. Pengurus utama organisasi Parpol di rekrut berdasarkan besarnya “setoran” atau besarnya “saham” dalam organisasi Parpol. Prestasi, Dedikasi, Loyalitas dan Tidak Tercela dari seorang kader terhadap Parpol-nya tidak dianggap/tidak dilihat sebagai kriteria menjadi pengurus utama organisasi Parpol. Faktanya jelas, bahwa saat ini tidak ada Parpol di Indonesia yang dipimpin oleh riil seorang aktivis, tokoh pergerakan, yang memiliki punya idealisme, militansi dan visi untuk melaksanakan Konstitusi secara benar, karena mereka tidak memiliki “gizi” atau “saham”. Solusinya, sistem rekrutmen kader harus jelas merujuk pada sistem dengan kriteria tentang kompetensi dan kinerja, karena Parpol adalah wahana kaderisasi kepemimpinan nasional.
Efek domino selanjutnya dari kepemimpinan korporasi dan sistem rekrutmen berdasarkan saham, adalah matinya demokratisasi dalam organisasi Parpol. Perbedaan pendapat dan hak-hak (kedaulatan) anggota tentang ide/gagasan tentang pengelolaan organisasi Parpol lebih baik, direnggut oleh kepemimpinan yang bersifat oligarki dan otoriter. Tidak ada ruang demokrasi untuk berdebat dan berargumen berdasarkan pengetahuan dan keilmuan setiap kader, yang muncul adalah pemaksaan kehendak/kepentingan dari kepemimpinan korporasi yang berorientasi profit. Solusinya, Parpol sebagai organisasi harus memiliki mekanisme yang jelas berdasarkan sistem (AD/ART) dalam hal mengambil keputusan, melalui serangkaian rapat-rapat organisasi yang bersifat terbuka, adil dan akuntabel dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan sesuai dengan domain kewenangannya masing-masing, karena prinsip kerja parpol adalah sistem kerja kolektif dari pengurus pusat sampai daerah.

D.    Solusi untuk Perubahan Politik Indonesia
Menurut Aristoteles politik adalah usaha yang ditempuh oleh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama. Dan menurut Joice Mitchel, Politik adalah pengambilan keputusan kolektif atau pembuatan kebijaksanaan umum untuk masyarakat seluruhnya.
Sehingga secara garis besar definisi atau makna dari "POLITIK" adalah sebuah perilaku atau kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk mewujudkan kebijakan-kebijakan dalam tatanan Negara agar dapat merealisasikan cita-cita Negara sesungguhnya, sehingga mampu membangun dan membentuk Negara sesuai rules agar kebahagian bersama didalam masyarakat disebuah Negara tersebut lebih mudah tercapai.
Apakah politik di Indonesia sesuai dengan makna dari politik?
Nyatanya politik di Indonesia sekarang ini sangatlah miris, banyaknya sebuah kejanggalan yang terjadi salah satu contoh yang sering dan bahkan setiap hari terdengar dari stasiun televisi adalah masalah korupsi. Para politisi yang dulunya meminta dukungan kepada masyarakan dengan janji untuk memperjuangkan hak rakyat hanyalah omong kosong belaka.
Namun yang menjadi pertanyaan sekarang yaitu “ Politik seperti apakah yang di terapkan di Indonesia sekarang ini? Apakah para politisi sekarang mengerti dan memahami betul dunia politik itu seperti apa?”.
Memang sangat disayangkan, duluhnya para pahlawan berjuang demi kemerdekaan rakyat Indonesia. Namun semua itu sepertinya tidak dimaknai oleh para pemimpin Negara sekarang, mereka hanya terbuai oleh kekuasaan dan melupakan apa sebenarnya tugas mereka. Mereka melupakan bahwa Indonesia adalah Negara demokrasi yaitu, pemerintah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Yang artinya dalam situasi apapun pemerintah harus selalu menjunjung tinggi hak-hak rakyat.
Mereka (politisi) hanya memamfaatkan kedudukan mereka untuk mencari keuntungan dengan cara mengambil hak rakyat atau korupsi. Para koruptor ini tingal di rumah yang bertingkat,kemana-mana menggunakan mobil mewah, selalu tersedia makan jika mereka lapar. Namun terlepas dari itu ternyata masih banyak rakyat Indonesia yang tidak memiliki tempat tinggal, pakaian dan bahkan makanpun mereka sangat susah.
Melihat keadaan politik di Indonesia yang semakin buruk, tentunya diperlukan suatu perubahan. Perubahan yang tidak hanya mengarah pada perubahan sementara namun perubahan yang dimaksud alah perubahan yang akan menjadi tolak ukur bagi politik kedepannya. Untuk itu peran para pemuda sekaranglah yang sangat di butuhkan.
Bukan memandang dari segi umur mereka yang masih muda, namun lihatlah potensi yang dimiliki oleh para pemuda. Seperti yang dikatakan Soekarno “seribu orang tua bisa bermimpi, satu orang pemuda dapat mengubah dunia”. Untuk itu kemampuan para pemuda dalam dunia politik tidak dapat diremehkan lagi.
Dengan pemikiran yang kritis dalam pengambilan kebijakan politik pasti akan membuat suatu perubahan yang berarti. Pemuda yang duluhnya di kalang masyarakat dipandang hanya sebagai kaum anarkis kini mulai menjadi kaum intelektual yang berpikir kritis.
Pemikiran kritis yang dimiliki para pemuda-pemudi  Indonesia telah mampu mewakili menyuarakan aspirasi rakyat dan tuntutan  terhadap pemenuhan hak rakyat. Akan tetapi yang menjadi permasalahan sekarang ialah banyaknya pemuda yang terjerumus dalam hal negative, seperti narkoba, seks bebas, ikut balapan liar dan lain-lain.
Itu semua disebabkan oleh pola pikir mereka yang masih berada dalam pengaruh negative perkembangan globalisasi. Mereka belum menyadari bahwa peran merekalah yang sangat dibutuhkan saat ini. Untuk itu bagi semua kaum muda saya bukan guru kalian akan tetapi saya adalah kawan yang ingin berjuang bersama kalian untuk memperjuangkan keadilan dan pembebasan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Maka dari itu bukalah mata kalian, lihatlah disekitar kalian masih sangat banyak yang memerlukan pertolongan kalian. Berhentilah dalam hal negative mari bargabung bersama untuk melakukan sebuah perubahan, perubahan dimana semua rakyat dapat menikmati suatu keadilan yang sama rasa.
Ingatlah perjalanan bangsa kita selama 100 (seratus)tahun terakhir sejak kebangkitan nasional, selama 85 (delapanpuluh lima) tahun terakhir sejak sumpah pemuda, selama 68(enam puluh delapan) tahun terakhir sejak kemerdekaan,ataupun selama 15 (lima belas) tahun terakhir sejak reformasi, telah banyak kemajuan yang telah kita capai, tetapi masih jauh lebih banyak lagi yang belum dan mesti kita kerjakan.
Dalam upaya mewujudkan cita-cita itu, tentu banyak permasalahan, tantangan, hambatan, rintangan, dan bahkanancaman yang harus dihadapi. Masalah-masalah yang haruskita hadapi itu beraneka ragam corak dan dimensinya. Banyak masalah yang timbul sebagai warisan masa lalu, banyak pula masalah-masalah baru yang terjadi sekarang ataupun yang akan datang dari masa depan kita.
Dalam menghadapi beraneka persoalan tersebut, selalu ada kecemasan, kekhawatiran, atau bahkan ketakutan-ketakutan sebagai akibat kealfaan atau kesalahan yang kita lakukan atau sebagaiakibat hal-hal yang berada di luar jangkauan kemampuan kita,seperti karena terjadinya bencana alam atau karena terjadinyakrisis keuangan di negara lain yang berpengaruh terhadap perekonomian kita di dalam negeri.
Saking banyaknya permasalahan yang kita hadapi, terkadang orang cenderung larut dalam keluh kesah tentang kekurangan,kelemahan, dan ancaman-ancaman yang harus dihadapi yang seolah-olah tidak tersedia lagi jalan untuk keluar atau solusi untuk mengatasi keadaan.
Penting bagi kita semua, kaum muda Indonesia, membiasakan diri yaitu untuk mengerjakan apa saja yang semestinya kita kerjakan guna memperbaiki keadaan dan meningkatkan produktifitas kita sebagai bangsa dan negara.Setiap anak bangsa perlu bertekad melaksanakan tugas dan kewajiban masing-masing melebihi apa yang seharusnya dikerjakan, dengan hanya mengambil hak tidak melebihi hak yang memang seharusnya diterima.
Pemuda sebagai ahli waris utama suatu negara serta penerus cita-cita bangsa, perlu mempersiapkan dan membina diri menjadi kader-kader bangsa, agar dapat menjadi generasi penerus yang berkarakter, berpandangan rasional, berbudipekerti luhur, dan memiliki keterampilan serta bertanggung jawab demi masa depan negara yang sejahterah dan bermartabat.
Maka dari semua itu janganlah gentar wahai kaum muda Indonesia karena menurut Kementerian Negara Pemuda dan Olah Raga RI sebagaimana diatur dalamUndang-UndangRepublik Indonesia Nomor 40 Tahun 2009 Tentang Kepemudaan, dalam Pasal 1 ayat (1) ditegaskan bahwa Pemuda adalah warganegara Indonesia yang memasuki periode penting pertumbuhan dan perkembangan yang berusia16 (enam belas) sampai 30 (tiga puluh) tahun.
Undang-undang tersebut berorientasi pada pelayanan kepemudaan untuk mewujudkan pemuda Indonesia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki akhlak mulia, sehat, cerdas, kreatif, inovatif, mandiri, demokratis, bertanggungjawab dan berdaya saing.
Untuk itu bagi semua kawan seperjuanganku kobarkanlah semangatmu mari kita goncang langit, gemparkan darat dan glorakan samudra demi satu kata PERUBAHAN.

SEKELUMIT PEMIKIRAN EMHA AINUN NADJID
Dari sekian pemikirannya yang dituangkan dalam buku, ada beberapa pemikiran beliau mengenai politik salah satu pada buku berjudul Demokrasi La Raiba Fih. Dimana disana beliau mengutarakan bahwa demokrasi merupakan suatu harga mati dan kebenaran sejati.
Demokrasi itu prinsip yang mutlak, pedoman perikehidupan yang bersifat absolute, tidak boleh ditolak, tidak boleh dipertanyakan, bahkan sedikit pun tidak boleh diragukan. Al Qur’an sebagai kitab suci umat islam, boleh dikatakan bahwa dirinya La Raiba Fih, tak ada keraguan padanya. Tetapi menurut undang - undang di negeriku orang boleh meragukan Al Qur’an, tidak melanggar hukum jika meninggalkannya, bahkan terdapat kecenderungan psikologis empiric untuk menganjurkan secara impisit sebaiknya orang menolak dan membencinya.
Tetapi tidak boleh bersikap demikian kepada demokrasi. Demokrasi - lah la raiba fih yang sejati.  Di dalam praktik konstitusi negeriku demokrasi lebih tinggi dari Tuhan. Tuhan berposisi dalam lingkup hak pribadi setiap orang, sedangkan demokrasi terletak pada kewajiban bersama, dan itu berarti juga kewajiban pribadi. Orang tidak ditangkap karena mengkhianati Tuhan, tetapi berhadapan dengan aparat hukum kalau menolak demokrasi.
Minimal diabaikan. Kalau engkau diam - diam tidak memilih demokrasi, engkau dianggap tak ada. Tetapi, kalau sampai engkau mengajak orang di depan umum untuk menolak demokrasi, engkau melanggar hukum.
Parpol itu kebenaran tunggal.Parpol itu satu - satunya yang berhak menyiapkan jalan kehidupan, jalan memilih wakil rakyat dan pemimpin negara. Kalau engkau tidak mau berjalan di jalanan yang disediakan parpol, suara abstainmu tidak dihitung. Kekecewaanmu tidak masuk ke dalam lembaran konstitusi negara.
Engkau tidak bisa berperan apa - apa selain di jalan demokrasi dan parpol. Peranmu harus mendukung dan wajib memilih satu di antara parpol - parpol itu. Aturan negara sendiri hanya memakai bahasa “hak pilih”, itu sebuah retorika budaya dan taktik politik. Sedangkan yang bertugas memakai kata “wajib memilih” alias “haram golput” adalah kaum ulama. Sebab idiom “wajib” itu berada di dalam otoritas kaum ulama, yakni wakil Allah di bumi, yang bertugas menata kehidupan umat manusia berdasarkan matriks “wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram”.
Begitulah sekelumit pandangan Cak Nun mengenai demokrasi saat ini. Atas nama demokrasi moralitas, agama, dan etika disampingkan, demokrasi seakan menjadi satu - satunya cara menuntaskan semua permasalahan hidup di negara ini. Dan melalui parpol nantinya arah kehidupan negara itu akan tahu jalannya kemana. Jika kita tidak mengikuti untuk menentukan arah jalan tersebut, maka harus siap - siap menanggung kekecewaan.
Atas nama demokrasi, semuanya dinomor duakan. Hal ini yang mengakibatkan keseimbangan yang bagus dalam penyelenggaraan negara. Dimana masyarakat tidak mengkombinasikan demokrasi dengan budaya yang sudah terbentuk sejak lama di Indonesia sendiri. Dan lagi - lagi masyarakat yang menjadi aktor di dalamnya menjadi korban pula dari demokrasi yang diagungkan ini. Jadi menurut Cak Nun, tak salah ketika demokrasi dikatakan sebagai senjata mutlak “La Raiba Fih” dalam segala hal di Indonesia ini.
Bahkan karena demokrasi pun ulama mengatakan golput itu haram, hal inilah yang terjadi pada Fatwa Ulama III MUI di Padang Panjang, Sumatera Barat. Hal yang lucu Tuhan sendiri, tidak pernah mengatakan bahwa tidak memilih itu sebuah keharaman, mungkin fatwa dari ulama ini didasari atas ketakutan akan nasib bangsa. Karena pada intinya demokrasi itu dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat.
Dan kalau rakyat mau melihat negara ini mengalami perubahan ke arah positif maka “wajib” hukumnya untuk memilih. Suatu hal yang lucu ketika melihat prinsip demokrasi yang mengedepankan kebebasan.
Itulah sekelumit pemikiran Emha Ainun Nadjid mengenai negara, demokrasi dimana sebagai seorang budayawan dan cendekiawan. Beliau mengedepankan bahasa - bahasa yang sederhana supaya masyarakat awam bisa paham.






Akhirnya saya sampai kepada kesimpulan bahwa politik adalah soal yang terlalu serius untuk dibiarkan untuk dipercayakan kepada para politisi. ~Charles de Gaulle

Manusia tidak pernah akan melihat berakhirnya kesulitan sampai … pencinta kebijaksanaan mendapatkan kekuasaan politik, atau pemegang kekuasaan… menjadi pencinta kebijaksanaan. ~Plato



Penjara Gorontalo, 7 September 2017
H R A.