Manusia dari kodratnya adalah binatang yang berpolitik. ~
Aristoteles
Politisi dan popok (pempers) bayi
harus sering diganti dan keduanya dilakukan karena alasan yang sama.
Realitas Politik Saat Ini Tidak Lebih Dari Menjadikan
Rakyat Sebagai “NUMERIK” ~Husin R. Akuba #HRA
KEGALAUAN POLITIK
Husin R.
Akuba
insha Allah hari ini kita semua berada ditengah kasih sayang keluarga yang
membahagiakan, dengannya perasaan damai yang indah menyertai Anda sekeluarga
menuju cita-cita bersama.
Beberapa waktu belakangan ini, perhatian saya terbagi dengan
peran-peran kepemimpinan di negara tercinta ini. Isu ini sangat menarik untuk
diikuti dan ditelaah karena melibatkan banyak orang dan biaya didalamnya.
Dari apa yang telah saya pelajari, paling tidak ada dua hal
yang mendorong kepemimpinan seseorang berjalan dengan efektif, yang pertama
adalah memastikan orang untuk bertanggung jawab terhadap hidupnya, dan yang
kedua menciptakan visi dan/atau program-program yang orang mau mencapai bersama
dengannya.
UNTUK ITU RAPATKAN BARISAN UNTUK INDONESIA HEBAT
Politik itu bukan hanya seni mengelola kemungkinan,
tapi juga seni mengelola harapan. Itu juga berlaku bagi kita sebagai pemilih.
Seringkali kita menaruh harapan terlalu tinggi kepada seorang figur atau sebuah
sistem. Saat masuk ke bilik suara atau
menyaksikan sebuah kampanye, mungkin kita melihat seorang figur seperti
malaikat. Namun, bahkan seorang malaikat pun harus berkubang dalam seni
mengelola kekuasaan ketika ia telah terpilih dan ditarik oleh berbagai
kepentingan. Pemilih kecewa. Namun bagi pelakunya, politik juga adalah seni
mengelola kekecewaan. Bila
politik adalah seni mengelola kekecewaan, maka pemilih sebaiknya tahu sejauh
mana ekspektasi mereka perlu diletakkan. (HRA)
SALAH satu pelajaran politik atau
perkembangan budaya politik di negeri kita, Indonesia beberapa tahun terahir
adalah sebuah kenyataan kerja politik yang ternyata lebih didedikasikan pada
(upaya merebut atau mempertahankan) kekuasaan, ketimbang mempertimbangkan nilai
ideal (luhur) yang justru menjadi dasar keadaban lahirnya politik itu sendiri:
menata dan mengelola negeri semata untuk kemajuan yang memuliakan spesies utama
di muka bumi ini, manusia (baca: warga negara).
1.
MEMBANGUN
BUDAYA POLITIK YANG SANTUN DAN BERADAB
Berdasar
pada orientasi kekuasaan yang dominan, yang sebagiannya hanya menjadi pretext
bagi nafsu untuk mengakses atau menguasai berbagai fasilitas sosial dan ekonomi
itu, politik di negeri ini berkembang dalam satu bentuk kultur yang dipenuhi
konflik, baik secara praktis maupun diskursif. Konflik yang sekali lagi,
bermuara pada kekuasaan, antara mereka yang memegangnya (kekuasaan) atau tidak.
Ditambah lagi dengan orientasi kelompok yang mendominasi, kecenderungan gaya
dan pola hidup permisif, acuh tak acuh, minus empati, krisis moralitas sehingga
pola hidup hedonistis, maka negeri ini pun seperti dibombardir kegaduhan yang
nyaris tak selesai (Radha Panca Dahana, 2015).
Kalau
dikaji lebih jauh, maka kita akan menemukan penyakit kronis-berbahaya seputar
praktik politik, misalnya, elite politik gagal menunaikan tugasnya sebagai
katalisator politik bagi publik. Sebagai katalisator, parpol dimana elite
politik bernaung, seringkali tidak bertanggung jawab dalam menyerap aspirasi
rakyat. Alih-alih parpol justru lebih sibuk dengan konflik internalnya
masing-masing. Publik lagi-lagi hanya menjadi korban manipulasi dan janji
politik yang sering dijejali oleh para elite politik.
Hal
lain, elite politik masih terjebak dalam lubang pragmatisme dan egoisme
politik. Ya, faktanya, elite politik lebih asyik berpuisi dan menjejali publik
dengan bait-bait indah melalui pidato, wacana, seminar bahkan janji-janji. Di
saat elite politik sibuk dengan dirinya sendiri, esensi politik pada dasarnya
sudah tak lagi berpijak pada deon (keharusan moral), melainkan hanya berpijak
pada telos (tujuan yang hendak dicapai). Sehingga, orientasi politik hanya
berfokus pada strategi dan cara meraih kekuasaan dan mencapai kepentingan
kelompok semata. Lalu, keharusan moral kekuasaan atau elite politik yang harus
dilakukan sebagai wujud timbal-balik karena telah diberi mandat oleh rakyat,
malah terabaikan. Bahkan, kesantunan politik menjadi nihil dan ternegasikan.
Perilaku Politik Santun Dalam
memandang Indonesia yang lebih maju, terutama dalam menghadirkan politik yang
dinamis dan mendidik, maka kita membutuhkan kesantunan politik yang
terejahwantah dalam beberapa hal penting,
Pertama, siap
menang dan siap kalah. Sebagaimana lumrahnya sebuah perlombaan atau kompetesi
selalu ada yang menang juga yang kalah. Dalam perhelatan politik pun demikian.
Mereka yang mendapat mandat rakyat untuk menjadi penggawa di berbagai institusi
negara (terutama Eksekutif, Legislatif) mesti menyadari bahwa kemenangan atau
mendapat mandat bukanlah kesempatan untuk membangga-banggakan diri, tapi
sebagai alarm bahwa ada tanggung jawab yang mesti diemban. Sungguh banyak
amanah rakyat yang mesti ditunaikan untuk sebuah jabatan. Keterpilihan bukanlah
ajang pemuas hawa nafsu demi kepentingan pribadi dan golongan tapi untuk
menjalankan amanah rakyat dan tugas negara.
Bagi
mereka yang tak terpilih (baca: kalah), perlu menyadari bahwa kekalahan
bukanlah aib yang memalukan. Ia justru produk kompetisi dalam segala dimensi
yang menghasilkan “menang” dan “kalah” sebagai konsekwensi dari apapun jenis
kompetesinya, lebih khususnya kompetesi politik. Kalah adalah pengingat terbaik
bahwa masih banyak hal yang mesti dibenahi dan dipersiapan jika ingin melakoni
peran sebagai pejabat publik. Selebihnya, masih banyak pekerjaan besar yang
dapat ditunaikan tanpa melalui sarana atau jabatan publik.
Kedua, memiliki
kepekaan etis. Kita tentu tidak perlu menagih banyak kepekaan etis kepada rakyat-publik,
sebab dalam teorinya, rakyat itu bagaimana perilaku pemimpinnya. Para
pemimpinlah yang semestinya meningkatkan saldo kepekaan di saat kondisi bangsa
yang terus menghadapi berbagai persoalan yang serba rumit dan pelik ini.
Menurut Yudi Latif (2010), kepekaan etis senantiasa menempatkan keadilan di
atas hukum dan nalar jabatan struktural. Dalam rasa keadilan, pejabat negara
dalam perilaku dan gaya hidupnya harus menenggang simpul terlemah dari jutaan
rakyat kecil yang terempas dan terputus. Sederhananya,
sang pejabat publik merasa tidak pantas dan tidak mau menerima berbagai
kelengkapan yang serba “wah” dari negara manakala masih ada seorang warga di
bumi pertiwi ini yang miskin atau yatim piatu dan layak mendapatkan bantuan.
Sang pejabat akan muncul rasa iba, empati dan kasih sayang dalam dirinya di
saat puluhan juta rakyat masih terkategori “layak dibantu”.
Ketiga, menjalankan
mandat dengan mental dan jiwa kepahlawanan. Dalam demokrasi, tentang siapa
mewakili siapa, sesunguhnya merupakan pertanyaan politik paling mendasar, sebab
ini soal legitimasi. Dalam sistem kepartaian, rakyat dianggap telah terwakili
jika mereka telah ikut pemilu seperti pileg, pilpres dan pilkada; karena itu
adalah mekanisme yang dianggap paling sah dalam berpartisipasi politik. Tetapi
masalahnya, apakah mereka yang mendapat mandat bisa melakukan artikulasi
terhadap aspirasi rakyat, khususnya yang disebut sebagai politik pergulatan
hidup (human struggle) sehari-hari—dalam konteks nasional, termasuk dalam
mengakhiri kemelut kasus hukum yang akhir-akhir ini sudah terpampang jelas
sekaligus norak?
Diantara hal yang
amat tragis dalam perkembangan politik suatu bangsa bila penerima mandat telah
melakukan praktik manipulasi kekuasaan, sementara itu terjadi kekosongan the
signifier dalam masyarakat tersebut yang sanggup mengartikulasikan politik
keresahan sosial, terutama dari kalangan mereka yang selama ini disebut sebagai
orang-orang tertindas (the subordinatin of people).
Dalam kondisi
politik yang terselimuti berbagai tindak-tanduk yang culas, rakyat butuh
praktik politik santun para elite. Politik santun dapat dipahami sejaumana
kepekaan para elite. Dalam konteks pemerintahan, kepekaan terlihat dari
berbagai bentuk kebijakan publik, keputusan politik dan serupanya—yang terdorong
oleh kepekaan politik dan upaya sadar para elite politik, yang benar-benar
sesuai dengan kebutuhan rakyat banyak. “Jika politik kebanyakan akrobatik tanpa
isi dan pesan, maka rakyat sebagai lakon utama demokrasi secara sadar
dinegasikan dari panggung demokrasi-politik sebagai hak azasinya” (Eep
Saefulloh Fatah, 2013).
Kesantunan politik
merupakan keniscayaan dalam menatap politik bangsa yang berwatak maju dan
beradab. Dengan begitu, politik tidak dimaknai dan dipraktikkan secara
keliru—seperti yang pernah disinggung Groucho Marx (2000)—bahwa, “politik
adalah seni mencari masalah, menemukan masalah di mana-mana, mendiagnosis
secara serampangan dan memberikan obat yang salah”, tapi justru dipraktikkan
secara santun dan manusiawi yang terejahwantah dalam kebijakan politik yang pro
rakyat dan kaum lemah.
2. MASALAH DAN SOLUSI PERPOLITIKAN
INDNESIA
Kondisi
politik di Indonesia saat ini sangat buruk. Hal ini
disebabkan oleh penurunan politik Indonesia tidak sehat. Banyak politisi di
negeri ini yang terlibat dalam kasus korupsi. Sebenarnya, apa yang dibutuhkan
bukanlah popularitas tetapi kinerja yang optimal yang dapat membangun Indonesia
yang sangat baik politik.
Politik adalah proses pembentukan dan
pembagian kekuasaan dalam masyarakat, antara lain, membentuk proses pengambilan
keputusan, terutama di negara bagian. Kebanyakan orang tahu Indonesia politik
Indonesia yang kotor karena ada banyak hal yang membuat politik kotor. Hal ini
membuat negara kita semakin terpuruk.
A.
Mengurai Masalah-Masalah Politik
Di Indonesia Saat Ini
Dengan kekuasaan negara di
tengah-tengah dari seluruh rakyat Indonesia yang multi-budaya, otoritas politik
harus tidak hanya menyederhanakan masalah melalui praktek politik jargon
seperti: bentuk integrasi, keragaman dan hegemonik kekuasaan feodal.
Bahkan, seperti itu atau tidak,
tuntutan perubahan bangsa yang beragam di Indonesia, akan terus menjadi
kebutuhan politik yang sulit bagi kita untuk mengandung. Dalam perspektif
seperti itu, adalah tepat, kita butuhkan sekarang adalah model kekuasaan
Indonesia yang cerdas, dalam arti mampu melihat ancaman potensial.
Masalahnya adalah, model demokrasi
yang menekankan kesadaran pluralitas, menjadi semangat berbasis
egalitarianisme-isi prasyarat dan sangat kompleks. Dengan kata lain, jika kita
akan mempertahankan konsepsi politik negara dalam bentuk wacana integratif atau
kita mengubahnya menjadi bentuk negara-pluralisti seperti yang kita merenungkan
feredartif bentuk negara.
Pada tingkat tersebut yang, di masa
depan ketika kita benar-benar memasuki perubahan bahwa "kita tidak
mengenal". Dalam konteks ini, klaim bahwa Indonesia adalah budaya
kekerasan (budaya kekerasan) adalah klaim politik yang dapat digunakan untuk
membenarkan kembalinya penguasa yang otoriter dan kekerasan negara berikutnya.
Apalagi jika kita melihat keragaman budaya, sebagai modal sosial, maka kita
melihat bahwa hetrogenitas ia menawarkan jalur baru hari yang akan datang akan
memberikan alternatif cara reformasi politik di Indonesia. Meski begitu, di
bawah bias interpretasi penuh semangat yang demokratis dan pluralistik
pembaharuan adalah pilihan yang sangat sulit untuk hidup di negara ini.
Langkah-langkah untuk mengetahui,
meskipun sulit untuk mengatakan, mengapa dan bagaimana demokrasi adalah jalan
curam untuk sebuah prasyarat perubahan, kita dapat menafsirkan kembali
peristiwa perubahan semua sebagai bagian integral untuk terus melakukan yang
buruk untuk membangun kembali, catatan panjang kegagalan bangsa ini mencari
bentuk yang paling ideal. Bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa ramah, sopan,
halus dan lembut mungkin akan hanya menjadi kenangan masa lalu. Indonesia
kenangan perdamaian, akan menjadi bagian integral lanjutan dari harapan
mayoritas bangsa kita.
B. Dampak Masalah Hukum Terhadap Masalah
Politik Di Indonesia
Dalam kehidupan
politik saat ini terdapat masalah hukum yang membuat perpolitikan Indonesia
tidak stabil dan tumbuh tidak sehat. Masalah hukum itu dapat dijadikan
bargaining politik bagi siapapun pelaku politik negeri ini. Budaya yang tidak
sehat inilah yang membuat pertentangan politik di Indonesia semakin tidak
berkualitas. Hal inilah yang membuat kontrapoduktif dalam bangsa ini.
Budaya buruk
politik ini selain tidak berkualitas juga dapat membuat bangsa ini hanya
didominasi pertentangan tidak cerdas pada topik tidak berkualitas yang menutupi
pikiran membangun bangsa.
Masalah politik di
Indonesia erat hubungannya dengan masalah-masalah penegakan supremasi hukum
yang lemah karena feodalisme lembaga-lembaga hukum terhadap pemegang kekuasaan.
Hal ini juga dipicu oleh masalah ekonomi
partai maupun kepentingan golongan.
C. Partai Politik: Realita, Permasalahan dan Solusi
Dalam
berbagai survey terhadap masyarakat yang dilakukan oleh Lembaga – lembaga
survey nasional, Organisasi Parpol ditempatkan pada posisi yang sangat buruk.
Parpol tidak lagi dipandang sebagai penunjang harapan rakyat. Parpol dilihat
sebagai sumber masalah, karena selalu kisruh sesama, membuat kegaduhan politik,
menggangu kepentingan umum, tidak bekerja, tidak berfungsi, tidak simpatik ,
tidak memikirkan rakyat, identik dengan korupsi dan lain sebagainya.
Hal
buruk ini semakin masif dampaknya karena media massa baik cetak, elektronik
maupun online juga menyorot dan mempublikasikan sisi negatif Parpol tersebut.
Parpol di anggap tidak mampu memberikan optimisme bernegara, tidak mampu
menampilkan figur-figur calon pemimpin yang berkarakter negarawan. Parpol dianggap
tidak membuka/memberi harapan hidup lebih baik untuk rakyat. Alhasil, tidak
heran bila tingkat partisipasi politik masyarakat dalam berbagai agenda politik
nasional seperti Pemilu atau Pilkada menjadi sangat rendah. Komitmen kehidupan
berbangsa bernegara dipertaruhkan.
Demokrasi
sudah tentu membutuhkan Parpol sebagai agen of change (penentu) kualitas
kehidupan berbangsa bernegara. Demokrasi yang sehat dan kuat sudah tentu harus
ditopang oleh Parpol yang sehat dan kuat. Kondisi saat ini Parpol belumlah
sehat dan kuat.
Jika
dilihat secara objektif, Indonesia adalah negara besar, kaya dan luas, sudah
tentu banyak kepentingan-kepentingan yang ingin mengusai Indonesia. Maka sudah
pasti Parpol nasional di Indonesia juga harus besar, kuat dan memiliki idealisme.
Hal ini memiliki konsekwensi yaitu membutuhkan biaya Parpol yang besar, sistem
rekrutmen yang berkualitas dan kehidupan demokratisasi Parpol yang sehat.
Besarnya
biaya Parpol di Indonesia adalah konsekwensi logis dari besarnya luas wilayah
dan jumlah penduduk. Karena secara fisik operasional kegiatan-kegiatan Parpol
membutuhkan biaya yang besar. Oleh karenanya pembiayaan Parpol dari bantuan
negara yang berlaku saat ini yaitu Rp.110 per suara ditambah iuaran anggota
secara sukarela adalah diluar logika matematis untuk kecukupan. Faktanya jelas,
bahwa saat ini pemimpin-pemimpin Parpol nasional adalah orang-orang yang
memiliki kekayaan materi alias kalangan pengusaha (pemodal) atau orang-orang
yang dekat dengan sumber-sumber kekuasaan (pejabat). Itulah yang terjadi baik
pada kepemimpinan Parpol tingkat pusat maupun daerah. Akibatnya kepemimpinan
Parpol tidak berbeda dengan kepemimpinan perusahaan alias korporasi, dampaknya
fatal yaitu orientasi idealisme (nasionalisme) berubah menjadi orientasi
pragmatisme (profit). Solusinya jelas, Parpol sebagai aset negara wajib
diperhatikan lebih demi kestabilan negara, sehingga dalam hal pembiayaan
Parpol, negawa wajib hadir dengan memberikan bantuan pembiayaan Parpol yang
sesuai dengan luas wilayah dan jumlah penduduk Indonesia.
Efek
domino dari budaya perusahaan alias korporasi dalam kepemimpinan Parpol adalah
sistem rekrutmen yang tidak berkualitas. Pengurus utama organisasi Parpol di
rekrut berdasarkan besarnya “setoran” atau besarnya “saham” dalam organisasi
Parpol. Prestasi, Dedikasi, Loyalitas dan Tidak Tercela dari seorang kader
terhadap Parpol-nya tidak dianggap/tidak dilihat sebagai kriteria menjadi
pengurus utama organisasi Parpol. Faktanya jelas, bahwa saat ini tidak ada
Parpol di Indonesia yang dipimpin oleh riil seorang aktivis, tokoh pergerakan,
yang memiliki punya idealisme, militansi dan visi untuk melaksanakan Konstitusi
secara benar, karena mereka tidak memiliki “gizi” atau “saham”. Solusinya,
sistem rekrutmen kader harus jelas merujuk pada sistem dengan kriteria tentang
kompetensi dan kinerja, karena Parpol adalah wahana kaderisasi kepemimpinan
nasional.
Efek
domino selanjutnya dari kepemimpinan korporasi dan sistem rekrutmen berdasarkan
saham, adalah matinya demokratisasi dalam organisasi Parpol. Perbedaan pendapat
dan hak-hak (kedaulatan) anggota tentang ide/gagasan tentang pengelolaan
organisasi Parpol lebih baik, direnggut oleh kepemimpinan yang bersifat
oligarki dan otoriter. Tidak ada ruang demokrasi untuk berdebat dan berargumen
berdasarkan pengetahuan dan keilmuan setiap kader, yang muncul adalah pemaksaan
kehendak/kepentingan dari kepemimpinan korporasi yang berorientasi profit.
Solusinya, Parpol sebagai organisasi harus memiliki mekanisme yang jelas
berdasarkan sistem (AD/ART) dalam hal mengambil keputusan, melalui serangkaian
rapat-rapat organisasi yang bersifat terbuka, adil dan akuntabel dengan
melibatkan seluruh pemangku kepentingan sesuai dengan domain kewenangannya
masing-masing, karena prinsip kerja parpol adalah sistem kerja kolektif dari
pengurus pusat sampai daerah.
D. Solusi untuk Perubahan Politik Indonesia
Menurut
Aristoteles politik adalah usaha yang ditempuh oleh warga negara untuk
mewujudkan kebaikan bersama. Dan menurut Joice Mitchel, Politik adalah
pengambilan keputusan kolektif atau pembuatan kebijaksanaan umum untuk
masyarakat seluruhnya.
Sehingga
secara garis besar definisi atau makna dari "POLITIK" adalah sebuah
perilaku atau kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk mewujudkan
kebijakan-kebijakan dalam tatanan Negara agar dapat merealisasikan cita-cita
Negara sesungguhnya, sehingga mampu membangun dan membentuk Negara
sesuai rules agar kebahagian bersama didalam masyarakat disebuah
Negara tersebut lebih mudah tercapai.
Apakah
politik di Indonesia sesuai dengan makna dari politik?
Nyatanya
politik di Indonesia sekarang ini sangatlah miris, banyaknya sebuah kejanggalan
yang terjadi salah satu contoh yang sering dan bahkan setiap hari terdengar
dari stasiun televisi adalah masalah korupsi. Para politisi yang dulunya
meminta dukungan kepada masyarakan dengan janji untuk memperjuangkan hak rakyat
hanyalah omong kosong belaka.
Namun
yang menjadi pertanyaan sekarang yaitu “ Politik seperti apakah yang di
terapkan di Indonesia sekarang ini? Apakah para politisi sekarang mengerti dan
memahami betul dunia politik itu seperti apa?”.
Memang
sangat disayangkan, duluhnya para pahlawan berjuang demi kemerdekaan rakyat
Indonesia. Namun semua itu sepertinya tidak dimaknai oleh para pemimpin Negara
sekarang, mereka hanya terbuai oleh kekuasaan dan melupakan apa sebenarnya
tugas mereka. Mereka melupakan bahwa Indonesia adalah Negara demokrasi yaitu,
pemerintah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Yang artinya dalam
situasi apapun pemerintah harus selalu menjunjung tinggi hak-hak rakyat.
Mereka
(politisi) hanya memamfaatkan kedudukan mereka untuk mencari keuntungan dengan
cara mengambil hak rakyat atau korupsi. Para koruptor ini tingal di rumah yang
bertingkat,kemana-mana menggunakan mobil mewah, selalu tersedia makan jika
mereka lapar. Namun terlepas dari itu ternyata masih banyak rakyat Indonesia
yang tidak memiliki tempat tinggal, pakaian dan bahkan makanpun mereka sangat
susah.
Melihat
keadaan politik di Indonesia yang semakin buruk, tentunya diperlukan suatu
perubahan. Perubahan yang tidak hanya mengarah pada perubahan sementara namun
perubahan yang dimaksud alah perubahan yang akan menjadi tolak ukur bagi
politik kedepannya. Untuk itu peran para pemuda sekaranglah yang sangat di
butuhkan.
Bukan
memandang dari segi umur mereka yang masih muda, namun lihatlah potensi yang
dimiliki oleh para pemuda. Seperti yang dikatakan Soekarno “seribu orang tua
bisa bermimpi, satu orang pemuda dapat mengubah dunia”. Untuk itu kemampuan
para pemuda dalam dunia politik tidak dapat diremehkan lagi.
Dengan
pemikiran yang kritis dalam pengambilan kebijakan politik pasti akan membuat
suatu perubahan yang berarti. Pemuda yang duluhnya di kalang masyarakat
dipandang hanya sebagai kaum anarkis kini mulai menjadi kaum intelektual yang
berpikir kritis.
Pemikiran
kritis yang dimiliki para pemuda-pemudi Indonesia telah mampu mewakili
menyuarakan aspirasi rakyat dan tuntutan terhadap pemenuhan hak rakyat.
Akan tetapi yang menjadi permasalahan sekarang ialah banyaknya pemuda yang
terjerumus dalam hal negative, seperti narkoba, seks bebas, ikut balapan liar
dan lain-lain.
Itu
semua disebabkan oleh pola pikir mereka yang masih berada dalam pengaruh
negative perkembangan globalisasi. Mereka belum menyadari bahwa peran merekalah
yang sangat dibutuhkan saat ini. Untuk itu bagi semua kaum muda saya bukan guru
kalian akan tetapi saya adalah kawan yang ingin berjuang bersama kalian untuk
memperjuangkan keadilan dan pembebasan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Maka
dari itu bukalah mata kalian, lihatlah disekitar kalian masih sangat banyak
yang memerlukan pertolongan kalian. Berhentilah dalam hal negative mari
bargabung bersama untuk melakukan sebuah perubahan, perubahan dimana semua
rakyat dapat menikmati suatu keadilan yang sama rasa.
Ingatlah
perjalanan bangsa kita selama 100 (seratus)tahun terakhir sejak kebangkitan
nasional, selama 85 (delapanpuluh lima) tahun terakhir sejak sumpah pemuda,
selama 68(enam puluh delapan) tahun terakhir sejak kemerdekaan,ataupun selama
15 (lima belas) tahun terakhir sejak reformasi, telah banyak kemajuan yang
telah kita capai, tetapi
masih jauh lebih banyak lagi yang belum dan mesti kita kerjakan.
Dalam
upaya mewujudkan cita-cita itu, tentu banyak permasalahan, tantangan, hambatan,
rintangan, dan bahkanancaman yang harus dihadapi. Masalah-masalah yang
haruskita hadapi itu beraneka ragam corak dan dimensinya. Banyak masalah yang
timbul sebagai warisan masa lalu, banyak pula masalah-masalah baru yang terjadi
sekarang ataupun yang akan datang dari masa depan kita.
Dalam
menghadapi beraneka persoalan tersebut, selalu ada kecemasan, kekhawatiran,
atau bahkan ketakutan-ketakutan sebagai akibat kealfaan atau kesalahan yang
kita lakukan atau sebagaiakibat hal-hal yang berada di luar jangkauan
kemampuan kita,seperti karena terjadinya bencana alam atau karena terjadinyakrisis
keuangan di negara lain yang berpengaruh terhadap perekonomian kita di dalam
negeri.
Saking
banyaknya permasalahan yang kita hadapi, terkadang orang cenderung larut dalam
keluh kesah tentang kekurangan,kelemahan, dan ancaman-ancaman yang harus
dihadapi yang seolah-olah tidak tersedia lagi jalan untuk keluar atau
solusi untuk mengatasi keadaan.
Penting
bagi kita semua, kaum muda Indonesia, membiasakan diri yaitu untuk mengerjakan
apa saja yang semestinya kita kerjakan guna memperbaiki keadaan dan
meningkatkan produktifitas kita sebagai bangsa dan negara.Setiap
anak bangsa perlu bertekad melaksanakan tugas dan kewajiban
masing-masing melebihi apa yang seharusnya dikerjakan, dengan hanya mengambil
hak tidak melebihi hak yang memang seharusnya diterima.
Pemuda
sebagai ahli waris utama suatu negara serta penerus
cita-cita bangsa, perlu mempersiapkan dan membina diri menjadi
kader-kader bangsa, agar dapat menjadi generasi penerus yang berkarakter,
berpandangan rasional, berbudipekerti luhur, dan memiliki keterampilan serta
bertanggung jawab demi masa depan negara yang sejahterah dan
bermartabat.
Maka
dari semua itu janganlah gentar wahai kaum muda Indonesia karena menurut
Kementerian Negara Pemuda dan Olah Raga RI sebagaimana diatur dalamUndang-UndangRepublik
Indonesia Nomor 40 Tahun 2009 Tentang Kepemudaan, dalam Pasal 1 ayat (1)
ditegaskan bahwa Pemuda adalah warganegara Indonesia yang memasuki periode
penting pertumbuhan dan perkembangan yang berusia16 (enam belas) sampai 30
(tiga puluh) tahun.
Undang-undang
tersebut berorientasi pada pelayanan kepemudaan untuk mewujudkan pemuda
Indonesia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki akhlak
mulia, sehat, cerdas, kreatif, inovatif, mandiri, demokratis, bertanggungjawab
dan berdaya saing.
Untuk
itu bagi semua kawan seperjuanganku kobarkanlah semangatmu mari kita goncang
langit, gemparkan darat dan glorakan samudra demi satu kata PERUBAHAN.
SEKELUMIT
PEMIKIRAN EMHA AINUN NADJID
Dari sekian pemikirannya yang
dituangkan dalam buku, ada beberapa pemikiran beliau mengenai politik salah
satu pada buku berjudul Demokrasi La Raiba Fih. Dimana disana beliau
mengutarakan bahwa demokrasi merupakan suatu harga mati dan kebenaran sejati.
Demokrasi itu prinsip yang mutlak,
pedoman perikehidupan yang bersifat absolute, tidak boleh ditolak, tidak boleh
dipertanyakan, bahkan sedikit pun tidak boleh diragukan. Al Qur’an sebagai
kitab suci umat islam, boleh dikatakan bahwa dirinya La Raiba Fih, tak ada
keraguan padanya. Tetapi menurut undang - undang di negeriku orang boleh
meragukan Al Qur’an, tidak melanggar hukum jika meninggalkannya, bahkan
terdapat kecenderungan psikologis empiric untuk menganjurkan secara impisit
sebaiknya orang menolak dan membencinya.
Tetapi tidak boleh bersikap demikian
kepada demokrasi. Demokrasi - lah la raiba fih yang sejati. Di dalam
praktik konstitusi negeriku demokrasi lebih tinggi dari Tuhan. Tuhan berposisi
dalam lingkup hak pribadi setiap orang, sedangkan demokrasi terletak pada
kewajiban bersama, dan itu berarti juga kewajiban pribadi. Orang tidak
ditangkap karena mengkhianati Tuhan, tetapi berhadapan dengan aparat hukum
kalau menolak demokrasi.
Minimal diabaikan. Kalau engkau diam
- diam tidak memilih demokrasi, engkau dianggap tak ada. Tetapi, kalau sampai engkau
mengajak orang di depan umum untuk menolak demokrasi, engkau melanggar hukum.
Parpol itu kebenaran tunggal.Parpol
itu satu - satunya yang berhak menyiapkan jalan kehidupan, jalan memilih wakil
rakyat dan pemimpin negara. Kalau engkau tidak mau berjalan di jalanan yang
disediakan parpol, suara abstainmu tidak dihitung. Kekecewaanmu tidak masuk ke
dalam lembaran konstitusi negara.
Engkau tidak bisa berperan apa - apa
selain di jalan demokrasi dan parpol. Peranmu harus mendukung dan wajib memilih
satu di antara parpol - parpol itu. Aturan negara sendiri hanya memakai bahasa
“hak pilih”, itu sebuah retorika budaya dan taktik politik. Sedangkan yang
bertugas memakai kata “wajib memilih” alias “haram golput” adalah kaum ulama.
Sebab idiom “wajib” itu berada di dalam otoritas kaum ulama, yakni wakil Allah
di bumi, yang bertugas menata kehidupan umat manusia berdasarkan matriks
“wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram”.
Begitulah sekelumit pandangan Cak
Nun mengenai demokrasi saat ini. Atas nama demokrasi moralitas, agama, dan
etika disampingkan, demokrasi seakan menjadi satu - satunya cara menuntaskan
semua permasalahan hidup di negara ini. Dan melalui parpol nantinya arah
kehidupan negara itu akan tahu jalannya kemana. Jika kita tidak mengikuti untuk
menentukan arah jalan tersebut, maka harus siap - siap menanggung kekecewaan.
Atas nama demokrasi, semuanya
dinomor duakan. Hal ini yang mengakibatkan keseimbangan yang bagus dalam
penyelenggaraan negara. Dimana masyarakat tidak mengkombinasikan demokrasi
dengan budaya yang sudah terbentuk sejak lama di Indonesia sendiri. Dan lagi -
lagi masyarakat yang menjadi aktor di dalamnya menjadi korban pula dari
demokrasi yang diagungkan ini. Jadi menurut Cak Nun, tak salah ketika demokrasi
dikatakan sebagai senjata mutlak “La Raiba Fih” dalam segala hal di Indonesia
ini.
Bahkan karena demokrasi pun ulama
mengatakan golput itu haram, hal inilah yang terjadi pada Fatwa Ulama III MUI
di Padang Panjang, Sumatera Barat. Hal yang lucu Tuhan sendiri, tidak pernah
mengatakan bahwa tidak memilih itu sebuah keharaman, mungkin fatwa dari ulama
ini didasari atas ketakutan akan nasib bangsa. Karena pada intinya demokrasi
itu dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat.
Dan kalau rakyat mau melihat negara
ini mengalami perubahan ke arah positif maka “wajib” hukumnya untuk memilih.
Suatu hal yang lucu ketika melihat prinsip demokrasi yang mengedepankan
kebebasan.
Itulah sekelumit pemikiran Emha
Ainun Nadjid mengenai negara, demokrasi dimana sebagai seorang budayawan dan
cendekiawan. Beliau mengedepankan bahasa - bahasa yang sederhana supaya masyarakat
awam bisa paham.
Akhirnya
saya sampai kepada kesimpulan bahwa politik adalah soal yang terlalu serius
untuk dibiarkan untuk dipercayakan kepada para politisi. ~Charles de Gaulle
Manusia
tidak pernah akan melihat berakhirnya kesulitan sampai … pencinta kebijaksanaan
mendapatkan kekuasaan politik, atau pemegang kekuasaan… menjadi pencinta
kebijaksanaan. ~Plato
Penjara Gorontalo, 7 September 2017
H R A.