Rabu, 06 September 2017

HUKUM INTERNASIONAL

HUKUM INTERNASIONAL SUATU PENGANTAR
Pengarang : Sefrani, S.H., M.Hum.
Di Rangkum Oleh : HUSIN R. AKUBA


BAB I
HAKIKAT HUKUM INTERNASIONAL
A.    Istilah Dan Pengertian Hukum Internasional
Menurut Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Internasional (public) adalah keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas Negara-negara (hubungan internasional) yang bukan bersifat perdata. Dari pengertian yang diberikan oleh Mochtar Kusumaatmadja tersebut tampak bahwa hubungan internasional tidaklah terbatas hubungan yang dilakukan oleh antarnegara saja, tetapi dapat dilakukan oleh Negara dengan subjek non Negara atau subjek non Negara satu sama lain.
B.     Sifat dan Perwujudan Hukum Internasional
Hukum internasional adalah hukum yang sifatnya koordinatif bukan sub-ordinatif seperti halnya dalam hukum nasional. Sub-ordinatif maksudnya ada hubungan tinggi rendah antara yang diperintah (rakyat) dengan yang memerintah (penguasa/pemerintah). Hubungan internasional yang diatur dalam hukum internasional dilandasi oleh persamaan kedudukan antaranggota bangsa-bangsa. Tidak ada satu lebih tinggi dari yang lain. Tidak ada badan supranasional atau pemerintah dunia (world goverment) yang memiliki kewenangan membuat sekaligus memaksakan berlakunya suatu aturan internasional.
Hukum internasional perwujudannya ada yang bilateral, trilateral, regional, multilateral maupun universal. Semua Negara berhak terlibat atau membuat perjanjian internasional baik yang bilateral hingga yang universal. Semua itu merupakan hukum internasional yang mengikat bagi para pihaknya. Dengan demikian jelaslah bahwa dalam hukum internasional tidak terdapat badan legislative formal seperti pada hukum nasional. Walaupun  tidak ada badan legislative formal bukan berarti tidak ada aturan atau hukum internasional yang dihasilkan. Masyarakan internasional sendirilah yang membuat atauran tersebut.
C.     Hukum Internasional Sebagai Hukum yang Sesungguhnya
Oppenheim mengemukakan bahwa hukum internasional adalah hukum yang sesungguhnya (really law). Menurutnya ada 3 syarat yang harus dipenuhi untuk dikatakan sebagai hukum, yaitu adanya aturan hukum, adanya masyarakat serta adanya jaminan pelaksanaan dari luar atas aturan tersebut.
Syarat pertama dapat dengan mudah ditemukan yaitu dengan banyaknya aturan hukum internasional dalam kehidupan kita seperti Konvensi Hukum Laut PBB 1982 dll. Syarat kedua adanya masyarakat internasional juga terpenuhi yaitu Negara-negara dalam lingkup bilateral, trilateral, regional, multilateral dan universal. Syarat ketiga jaminan pelaksanaan juga terpenuhi yakni berupa sanksi yang datang dari Negara lain, organisasi internasional maupun pengadilan internasional. Walaupun demikian Oppenheim mengakui bahwa hukum internasional adalah hukum yang lemah (weak law). Hukum internasional lemah dalam hal pengakuannya bukan validitasnya.
Senada dengan Oppenheim, para pakar hukum internasional modern menyatakan bahwa hukum internasional adalah hukum yang sesungguhnya bukan hanya sekdar moral karena mayoritas masyarakat internasional mengakui adanya aturan hukum yang mengikat mereka. Berikut bukti yang dikemukakan oleh Dixon bahwa masyarakat internasional mengakui dan menerima Hukum Internasional sebagai hukum :
Ø        HI banyak dipraktikkan atau diterapkan oleh pejabat-pejabat luar negeri, pegawai asing (foreign offices), pengadilan nasional, dan organisasi-organisasi internasional.
Ø        Negara-negara yang melanggar hukum internasional dalam praktik tidak mengatakan bahwa mereka melanggar hukum karena HI tidak mengikat mereka.
Ø        Mayoritas Negara mematuhi hukum internasional mengingat jumlah pelanggaran yang terjadi jauh lebih sedikit dibandingkan dengan ketaatan yang terjadi.
Ø        Adanya lembaga-lembaga penyelesaian hukum seperti arbitrase dan berbagai pengadilan internasional yang senantiasa menggunakan argumentasi-argumentasi hukum dalam penyelesaian sengketa yang ditanganinya.
Ø        Dalam praktik HI dapat diterima dan diadaptasi ke dalam hukum nasional Negara-negara.
Dixon mengemukakan bahwa lemahnya HI bukan karena kekuatan mengikatnya, tetapi lebih dikarenakan kurang terorganisirnya masalah pengadilan serta penegakan hukumnya.
Dari paparan diatas terlihat jelas bahwa masayarakat internasional menerima HI sebagai hukum bukan sekedar kaidah moral belaka karena adanya external power atau kekuatan memaksa dari luar. Dalam kaidah moral kekuatan pemaksa datang dari kesadaran subjek hukum itu sendiri (internal power), yakni hati nurani dan kesadaran dirinya sendiri.
D.    Kekuatan Mengikat Hukum Internasional
Berikut ini teori atau aliran yang menjawab pertanyaan apa yang menjadikan masyarakat internasional mau menerima HI sebagai hukum? Dan dari mana HI memperoleh dasar kekuatan mengikat? :
1.        Teori atau aliran hukum alam yang mengemukakan bahwa HI mengikat karena HI bagian dari hukum alam yang diterapkan pada masyarakat bangsa-bangsa. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa Negara-negara mau terikat pada HI karena hubungan-hubungan mereka diatur oleh hukum yang lebih tinggi yaitu hukum alam. Namun apa yang dikemukakan ini dinilai kurang memuaskan karena sangat abstrak dan belum menjawab inti pertanyaan mengapa masyarakat internasional mau terikat pada HI.
2.        Teori atau aliran hukum positif yang mengemukakan bahwa dasar kekuatan mengikatnya HI adalah kehendak Negara. Namun teori ini memiliki kelemahan bahwa tidak semu HI memperoleh kekuatan mengikat karena kehendak Negara. Banyak aturan HI yang berstatus hukum kebiasaan internasional maupun prinsip hukum umum yang yang sudah ada sebelum lahirnya suatu Negara.
3.        Teori atau aliran pendekatan sosiologis yang menyatakan bahwa masyarakat bangsa-bangsa selaku makhluk social selalu mebutuhkan interaksi. Dalam berinteraksi tersebut masyarakat internasional membutuhkan aturan hukum untuk memberikan kepastian hukum atas apa yang mereka lakukan. Disamping itu, kekhawatiran akan kehilangan keuntungan atau fasilitas-fasilitas dari Negara lain juga kekhawatiran dikucilkan dari pergaulan internasional juga memberikan kontribusi ketaatan masyarakat internasional terhadap HI.
E.     Kelemahan Hukum Internasional
      Meskipun HI bisa bekerja, namun demikian ada beberapa faktor yang menjadikan HI sebagai hukum yang lemah. Beberapa faktor yang dimaksud adalah :
1.      Kurangnya institusi-institusi formal penegak hukum :
a.    Tidak adanya polisi yang siap sedia mengawasi dan menindak pelanggar HI.
b.    Meskipun ada jaksa dan hakim di pengadilan internasional, namun mereka tidak memiliki otoritas memaksa Negara pelanggar secara langsung sebagaimana yang umumnya terjadi di pengadilan nasional.
c .   Tidak adanya pengadilan internasional yang memiliki yurisdiksi wajib (compulsory jurisdiction).
2.     Tidak jelasnya aturan-aturan HI yang ada (unclear) sehingga mendukun terjadinya berbagai penafsiran di lapangan dan mengakibatkan kurangnya kepastian hukum.
F.      Peran dan Perkembangan Hukum Internasional
1)      Peran Hukum Internasional
ü      HI mengatur hampir semua aktivitas Negara.
ü      HI juga sangat memerhatikan masalah nasionalitas, ekstradisi, penggunaan kekuatan bersenjata, hak asasi manusia, perlindungan lingkungan serta keamanan nasional.
ü      HI mengkoordinasi dan memfasilitasi kerjasama antar Negara-negara yang saling tergantung satu sama lain.
2)      Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan HI :
ü       Meningkatnya jumlah Negara baru akibat proses dekolonisasi.
ü       Munculnya berbagai organisasi internasional.
ü       Diakuinya individu sebagai subjek HI.
ü       Perkembangan teknologi dan komunikasi.
ü       Muncul dan makin berperannya actor-aktor non state dalam percaturan internasional khususnya NGO juga perusahaan transnasional (TNC) yang memberi warna baru pada wajah hukum internasional.
ü       Era globalisasi
ü       Munculnya isu-isu yang mengglobal seperti demokrasi, HAM, lingkungan hidup, terorisme yang banyak mempengaruhi perkembangan hukum internasional.

G.    Hukum Internasional, Negara Maju, dan Negara Berkembang
  Hukum internasional bukanlah hukum yang netral. Hukum internasional berpihak pada pihak yang memiliki kekuasaan, uang dan juga teknologi. Bahkan hukum dapat dijadikan instrument oleh penguasa untuk mengubah perilaku masyarakatnya. Berikut beberapa pemanfaatan hukum internasional sebagai instrument politik menurut Hikmahanto :
ü  Sebagai pengubah konsep.
ü  Sebagai sarana intervensi urusan domestic.
ü  Sebagai alat penekan.
ü  Disisi lain HI juga bisa digunakan untuk menolak tekanan dari pihak lain.




















BAB II
SUMBER SUMBER HUKUM INTERNASIONAL

      A.     Macam-macam Sumber Hukum dalam Hukum Internasional
Menurut paragraph 1 pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional (MI), dalam memutus sengketa internasional yang diserahkan padanya, hakim MI dapat menggunakan :
a.       Perjanjian internasional ( international convention);
b.      Kebiasaan internasional (international custom), sebagai bukti praktik umum yang diterima sebagai hukum;
c.       Prinsip-prinsip umum hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab (general principles of law recognized by civilized nation);
d.      Putusan pengadilan dan doktrin atau karya hukum sebagai sumber hukum tambahan (subsidiary).
PERJANJIAN INTERNASIONAL (Treatis)
Perjanjian internasional menurut pasal 2 (1a) Konvensi Wina 1969 tentang hukum perjanjian adalah persetujuan yang dilakukan oleh Negara-negara, bentuknya tertulis dan diatur oleh hukum internasional, apakah terdiri dari satu atau lebih instrument dan apa pun namanya.Syarat penting untuk dikatakan sebagai perjanjian internasional adalah bahwa perjanjian tersebut tunduk pada rezim hukum internasional.
      Berdasarkan jumlah pesertanya perjanjian dapat dibedakan menjadi :
ü  Perjanjian bilateral,
ü  Trilateral,
ü  Multilateral,
ü  Regional dan
ü  Universal.
      Berdasarkan kaiadah hukum yang ditimbulkannya perjanjian dapat dibedakan menjadi :
ü  Treaty contract : Dapat ditemukan pada perjanjian bilateral, trilateral, regional atau perjanjian-perjanjian yang sifatnya tertutup yaitu tidak member. kesempatan pada pihak yang tidak ikut perundingan untuk menjadi peserta perjanjian.
ü  Law marketing treaty : umumnya ditemukan pada perjanjian multilateral yang sifatnya terbuka. Perjanjian jenis ini sebagian besar merupakan kodifikasi dari hukum kebiasaan yang sudah berlaku sebelumnya ataupun berisikan progressive development dalam hukum internasional yang diterima sebagai hukum kebiasaan baru atau sebagai prinsip hukum yang berlaku universal.
ü  Beberapa prinsip penting dalam hukum internasional adalah sebagai berikut :
ü  Voluntary : Tidak ada pihak yang dapat diikat oleh suatu treaty melalui salah satu cara yang diakaui HI tanpa persetujuannya.
ü  Pacta Sunt Servanda : Perjanjian mengikat seperti undang-undang bagi para pihaknya.
ü  Pacta tertiis nec nocunt nec prosunt : Pejanjian tidak memberikan hak dan kewajiban pada pihak ketiga tanpa persetujuannya.
ü  Ketika seluruh pasal dalam perjanjian merupakan kodifikasi hukum kebiasaan internasional yang sudah berlaku maka seluruh isi perjanjian itu akan mengikat pada seluruh masyarakat internasional termasuk Negara yang tidak meratifikasinya.
ü  Apabila suatu perjanjian merupakan campuran antara hukum kebiasaan yang sudah berlaku dengan perkembangan yang baru (progressive development) maka :
1.      Negara peserta akan terikat pada seluruh pasal perjanjian.
2.      Negara bukan peserta hanya terikat pada isi pasal yang merupakan kodifikasi hukum kebiasaan yang sudah berlaku.
3.     Negara bukan peserta dapat pula terikat pada ketentuan yang merupakan progressive development bilamana progressive development tersebut merupakan hukum kebiasaan baru (new customary).
a.      Hierarki dalam Treaty
Bila ada dua perjanjian yang datangnya berurutan, para pihaknya sama, perjanjian yang akhir tidak mencabut perjanjian yang awal, bila ada aturan yang bertentangan maka berlakulah prinsip lex posteriori derogate lex priori atau perjanjian yang datang kemudian akan diutamakan daripada perjanjian yang datang lebih dulu.
Menurut Konvensi Wina 1969, bila konflik yang terjadi antara pihak yang menjadi peserta pada kedua perjanjian maka berlakulah prinsip lex posteriori derogate lex priori. Namun demikian bila konflik terjadi antara pihak yang menjadi peserta pada kedua perjanjian dengan pihak yang hanya menjadi peserta pada satu perjanjian saja maka yang digunakan adalah perjanjian dimana kedua pihak menjadi peserta.

b.   Berlaku (entry of force) dan Mengikatnya (bound) Perjanjian
Pasal 24 (1) Konvensi Wina 1969 menetapkan bahwa berlakunya suatu perjanjian internasional tergantung pada :
1)      Ketentuan perjanjian internasional itu sendiri;
2)      Atau apa yang telah disetujui oleh Negara peserta.
          Adapun  mengikatnya perjanjian tergantung pada tahap-tahap pembentukan perjanjian itu. Antara mulai berlaku dan saat mengikatnya suatu perjanjian bisa bersamaan, bisa tidak. Dan untuk dapat menuntut suatu Negara atas pelanggaran suatu perjanjian internasional ada dua syarat yang diperlukan yaitu perjanjian itu sudah belaku dan Negara itu sudah mengikatkan diri pada perjanjian tersebut.

c.    Perjanjian Internasional di Indonesia
Indonesia baru memiliki undang-undang tentang perjanjian internasional pada tahun 2000 yaitu UU Nomor 24 Tahun 2000. Sebelumnya, Indonesia menggunakan pasal 11 UUD 1945, serta Surat Presiden 2826 Tahun 1960 tentang “Pembuatan Perjanjian-Perjanjian dengan Negara Lain.”
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 menjelaskan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat dapat melakukan pengawasan terhadap pemerintah, walaupun tidak diminta persetujuan sebelum pembuatan perjanjian internasional. Di dalam melaksanakan fungsi dan wewnang DPR dapat meminta pertanggungjawaban atau keterangan pemerintah mengenai perjanjian internasionalyang telah dibuat. Apabila dipandang merugikan kepentingan nasional, perjanjian internasional tersebut dapat dibatalkan atas permintaan dewan DPR.
Seiring dengan menguatnya otonomi daerah , UU Nomor 24 Tahun 2000 juga memberikan kewenangan pada daerah untuk membuat perjanjian internasional. Hal ini tampak pada pasal 5 yang menyatakan bahwa Lembaga negara dan lembaga pemerintah yang mempunyai rencana untuk untuk membuat perjanjian internasional, terlebih dahulu melakukan konsultasi dan koordinasi dengan menteri luar negeri.
Mekanisme konsultasi tersebut dapat dilakukan melalui antar department atau komunikasi surat menyurat antara lembaga-lembaga dengan Department Luar Negeri  untuk meminta pendangan politik/yuridis rencana pembuatan perjanjian internasional tersebut. Kritik yang dapat diajukan terhadap pasal ini adalah bahwa syarat yang diperlukan daerah untuk dapat membuat perjanjian internasional adalah setelah melakukan konsultasi dan koordinasi dengan menteri luar negeri.

HUKUM KEBIASAAN INTERNASIONAL (International Customary Law)
     Hukum kebiasaan internasional menurut Dixon adalah hukum yang berkembang dari praktik atau kebiasaan Negara-negara. Hukum internasional tumbuh dan berkembang melalui kebiasaan Negara-negara. Hukum kebiasaan internasional (customary) harus dibedakan dengan adat istiadat (usage) atau kesopanan internasional (international community) atau pun persahabatan (friendship).
            a.   Unsur-unsur Hukum Kebiasaan Internasional
   Dapat dikatakan sebagai hukum kebiasaan harus memenuhi 2 unsur secara kumulatif yakni:
            1)   Unsur factual
ü Unsur praktik Negara-negara : hal ini bersifat aktif maupun pasif, tampak dari pernyataan-pernyataan pimpinan Negara terhadap suatu situasi, legislasi dalam hukum nasional, resolusi Majelis Umum PBB, praktik-praktik organisasi internasional dan dari putusan pengadilan nasional Negara-negara.
ü Unsur praktik umum (general) : tidak mensyaratkan harus semua Negara tanpa terkecuali (universal) melakukan praktik tersebut.
ü Unsur praktik yang berulang-ulang : mensyaratkan kekonsistenan atau keseragaman dalam praktik. Namun demikian derajat parameter kekonsistenan tidaklah harus total. Unsur praktik yang seragam dan konsisten tidaklah juga mensyaratkan persetujuan lebih dulu dari Negara-negara.
ü Unsure jangka waktu (duration) : ICJ tidak pernah memberikan petunjuk yang jelas mengenai berapa jangka waktu yang diperlukan bagi praktik Negara untuk menjadi hukum kebiasaan internasional. tergantung besarnya pengaruh Negara yang mempraktekkannya dan kepentingan masyarakat internasional terhadap lapangan yang menjadi objek dari pola tindakan tersebut.
2)      Unsur psikologis (psychological element/opinion jurissive necessitas)
Untuk menguji keberadaan suatu hukum kebiasaan tidak cukup hanya dengan melihat praktik Negara-negara saja, tetapi  perlu juga diketahui mengapa mereka mempraktikkan seperti itu. Menentukan terpenuhinya unsure kedua ini jauh lebih sulit dibandingkan dengan menganalisis unsure faktualnya karena unsure psikologis bersifat abstrak dan subyektif.
Hal lain adalah karena tidak ada HI yang dapat dipaki sebagai pedoman dalam menentukan ada tidaknya opinio juris. Yang paling berperan menentukan ada tidaknya opinio juris adalah berbagai pengadilan baik nasional maupun iunternasional.

b.      Perubahan Hukum Kebiasaan Internasional
             Suatu hukum kebiasaan baru (new customary law) dapat menggantikan hukum kebiasaan yang sudah ada (existing rule) bila ada cukup praktik Negara yang bertentangan dengan hukum kebiasaan yang sudah ada, yang didukung oleh opinio juris. Pada awalnya praktik yang bertentangan memang akan dikatakan sebagai pelanggaran terhadap hukum kebiasaan karena pada saat itu hukum kebiasaan yang ada belum berubah. Dan melalui putusan-putusan pengadilan apa yang semula dipandang sebagai  pelanggaran dalam perkembangannya justru dianggap sebagai perkembangan baru.
c.       Hubungan antara Hukum Kebiasaan dengan Perjanjian Internasional
             Jika hukum kebiasaan dan perjanjian internasional menetapkan kewajiban-kewajiban hukum yang sama maka tidak akan menimbulkan banyak masalah. Bila ada konflik antara hukum kebiasaan dengan perjanjian maka :
1)     Jika treaty datang kemudian dibandingkan dengan hukum kebiasaan, sepanjang hukum kebiasaannya bukan bersatus jus cogens maka treaty-lah yang diutamakan.
2)   Jika hukum kebiasaan yang bertentangan datang kemudian setelah treaty, penyelesainnya tidaklah jelas.
3)      Pasal 53 Konvensi Wina tentang hukum perjanjian menegasakan bahwa suatu treaty adalah void bilamana bertentangan dengan jus cogens atau peremptory norm of general international law yang datang sebelum  atau setelah treaty tersebut.

PRINSIP HUKUM UMUM YANG DIAKUI OLEH BANGSA YANG BERADAB (General Principles Recognized Civilized Nation)
      Prinsip hukum umum merupakan prinsip-prinsip hukum secara umum tidak hanya terbatas pada hukum internasional saja, tetapi mungkin prinsip dalam hukum perdata, hukum acara, hukum pidana, hukum lingkungan dan lain-lain yang diterima dalam praktik Negara-negara nasional. Beberapa prinsip tersebut antara lain prinsip pacta sunt servanda, prinsip etikad baik (good faith), prinsip res judicata, nullum delictum nulla poena legenali, nebis in idem, rektroaktif, good governance, clean government, dan lain-lain.
      Dimasukkannya prinsip hukum umum sebagai sumber hukum ketiga dalam statute membuktikan adanya penolakan terhadap doktrin positivme yang berpendapat bahwa HI terdiri semata-mata dari ketentuan yang merupakan kesepakatan Negara-negara.

PUTUSAN PENGADILAN (Yurispudensi)
      Putusan pengadilan dalam Pasal 38 Statuta MI disebutkan sebagai sumber hukum tambahan (subsidiary) bagi sumber-sumber hukum diatasnya. Putusan pengadilan dikatakan sumber hukum tambahan karena sumber hukum ini tidak dapat berdiri sendiri sebagai dasar putusan yang diambil oleh hakim. Putusan pengadilan tidak menciptakan hukum. Putusan pengadilan hanya mengikat para pihaknya dan hanya untuk kasus tertentu saja.

KARYA HUKUM (Writing Publicist)
      Karya hukum apa pun namanya atau siapapun yang menghasilkannya bukanlah hukum yang mengikat. Karya hukum tidaklah menciptakan hukum meskipun itu tulisan dari Grotius, Bynkershoek, Vattel, Strake Oppenheim, Hall, Hyde, Rousseeau atau pakar yang lain tetaplah hanya merupakan opini, tidak mnegikat dan bukanlah hukum. Namun, meskipun bukan hukum dan tidak mengikat, banyak karya hukum cukup berperan dalam perkembangan hukum internasional.

PUTUSAN ORGANISASI INTERNASIONAL
      Putusan organisasi tidak dikemukakan dalam daftar sumber hukum Pasal 38 (1) Statuta Mahkamah Internasional. Beberapa alasan yang dikemukakan antara lain bahwa waktu pembentukan piagam keberadaan dan peran organisasi internasional belum seperti saat ini. Alasan lain yang dikemukaakan beberapa penulis hukum internasional adalah karena putusan organisasi internasional sudah tercakup dalam hukum kebiasaan internasional maupun treaty. Namun demikian, tidak semua putusan organisasi internasional dapat dikatakn merefleksikan hukum kebiasaan.
      Pada dasarnya putusan organisasi internasional hanya mengikat pada anggotanya saja. Putusan organisasi internasional juga tidak bisa dikategorikan sebagai treaty mengingat treaty memerlukan kesepakatan yang melahirkan hak dan kewajiban bagi pesertanya serta diatur oleh hukum internasional. Meskipun putusan organisasi hanya mengikat pada anggotanya, tidak menciptakan suatu norma hukum, namun putusan organisasi internasional dapat menjadi bukti praktik hukum kebiasaan internasional.

B.     Hierarki dalam Hukum Internasional
1.   Pentingnya Keberadaan Hierarki dalam Hukum Internasional
      Pada dasarnya hierarki aturan dan kelembagaan juga sangat vital bagi system hukum internasional. Namun prinsip hierarki dalam hukum internasional menurut Fransisco Forrest Martin kurang begitu dikenal. Dan meskipun memiliki perbedaan dengan system hukum nasional, namun pada dasarnya menurut Meron, pengakuan keberadaan prinsip hierarki daalm hukum internasional adalah sangat penting untuk proses penyelesaian sengketa khususnya penyelesaian melalui jalur hukum. Adanya kejelasan hierarki akan menjadikan proses penyelesaian konflik menjadi lebih mudah.
      Dinah Shelton melalui teori relative normativity mengemukakn bahwa relative normativity muncul untuk menyelesaikan suatu problem, juga untuk menentukan apakah suatu aturan hukum tertentu harus diprioritaskan atas yang lain, serta apakah interpretasi tertentu dapat diterapkan pada masalah hukum tersebut. Ada tiga perkembangan hukum internasional menurut Shelton yang menjadikan alasan semakin pentingnya keberadaan relative normativity yaitu:
ü  Semakin tereduksinya keberadaan persetujuan Negara untuk pembentukan hukum internasional;
ü  Perluasan substansi hukum internasional;
ü  Munculnya hukum pidana internasional yang berpusat pada berbagai jenis kejahatan internasional serta hubungan antara lembaga-lembaga internasional, doktrin jus cogens, serta doktrin erga omnes.

2.      Penerapan Hierarki dalam Hukum Internasional
ü  Dikemukakan keberadaan jus cogens atau peremptory norms yang diakui dan diterima oleh Negara-negara sebagai borna tertinggi..
ü  Keberadaan pasal 103 Piagam PBB yang mengaskan bahwa piagam PBB, konstitusi dalam hukum internasional memiliki kedudukan lebih tinggi dari perjanjian-perjanjian yang lain.
ü  Keberadaan Pasal 30 Konvensi Wina 1969 yang mengatakan “Aplication of successive treaties relating to the same subject-matter.”
ü  Adanya penerimaan oleh masyarakt internasional bahwa secara umum huku kebiasaan internasional mengalahkan perjanjian bilateral.
ü  Banyaknya instrument hukum internasional yang secara eksplisit melakukan penetrasi atau menembus prinsip-prinsip dari bidang hukum internasional yang lain.

3)      Jus Cogens sebagai Norma Tertinggi dalam Hukum Internasional
      Jus Cogens adalah non-derogable, peremptory law. Ulrich mengusulkan keberadaan tiga kelompok yang berbeda dalam jus cogens yaitu :
1)      Atas dasar pertimbangan adanya kepentingan maksimum Negara untuk melindungi fondasi hukum, perdamaian dan kemanusiaan sebagai standart minimum hukum internasional.
2)      Terdiri dari prinsip dan aturan-aturan hukum yang penting untuk memelihara kerjasama perdamaian yang dalam hukum internasional bertujuan melindungi kepentingan umum.
3)      Diakui sebagai inalienable law, faktor yang membedakan jus cogens dengan yang lain adalah universalitasnya.











BAB III
HUBUNGAN HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL

A.    Teori Monisme dan Dualisme
Ø Teori Monisme : menurut aliran ini antara HI dan HN merupakan dua kesatuan hukum dari satu system hukum yang lebih besar yaitu hukum pada umumnya. Daalm perkembangannya, teori monism terpecah menjadi dua yaitu :
ü  Teori monisme primat HI : HN bersumber dari HI, jadi kedudukan HI lebih tinggi daripada HN.
ü  Teori monisme primat HN : HI bersumber dari HN, maka kedudukan HN lebih tinggi daripada HI. Sehingga jika ada konflik maka HN-lah yang diutamakan.
Ø Teori Dualisme : Antara HI dan HN adalah dua system hukum yang sangat berbeda satu dengan yang lain. Perbedaan yang dimaksud adalah :
ü  Subjek : subjek HI Negara-negara sedangkan subjek HN adalah individu;
ü  Sumber hukum : HI bersumber pada kehendak bersama Negara sedangkan HN bersumber pada kehendak Negara;
ü  HN memiliki integritas yang lebih sempurna dibandingkan HI.

B.     Hukum Nasional di depan Pengadilan Internasional
      Praktik di pengadilan internasional menunjukkan bahwa :
1)      Negara tidak dapat menggunakan HN-nya yang bertentangan dengan HI sebagaialasan menjustifikasi pelanggaran HI yang dilakukannya pada pihak lain.
2)      Suatu negaratidak dapat menggunakan alasan ketiadaan HN-nya untuk menjustifikasi pelanggaran HI yang dilakukannya kepada pihak lain.
3)      Tanggung jawab internasional timbul hanya ketika Negara gagal untuk memenuhi kewajiban internasional.
4)      HN hanya dapat diajukan didepan pengadilan internasional sepanjang tidak bertentangan dengan HI.
5)      HN dapat diajukan di depan pengadilan internasional sebagai bukti adanya praktik hukum kebiasaan internasional.
6)      HN dapat digunakan oleh pengadilan internasional dalam kasus-kasus ada pilihan hukum oleh para pihak sebelumnya.
7)      Pengadilan internasional dapat memutus bahwa suatu HN tidak cukup memenuhi kewajiban HI.
Dari apa yang dikemukakan diatas tampak bahwa di pengadilan internasional kedudukan  HI lebih superior dibandingkan dengan HN karena HN hanya dapat digunakan didepan pengadilan internasional apabila tidak bertentanga dengan HI. Hal ini dikenal dengan teori oposabilitas.

C.     Hukum Internasional di depan Pengadilan Nasional
      Status dan perlakuan terhadap HI berbeda-beda dalam praktik antara satu Negara dengan yang lain. Dalam praktik ada dua doktrin yang banyak diikuti oleh Negara-negara yaitu :
1.      Doktrin inkorporasi yang menyatakan bahwa HI akan berlaku otomatis menjadi bagian dari HN tanpa adopsi sebelumnya.
2.      Doktrin transformasi yang menyatakan bahwa HI tidak menjadi HN kecuali atau sampai diimplementasikan dalam HN lebih dulu.

PRAKTIK DI INGGRIS
      Praktik di Inggris berkaitan dengan hukum kebiasaan menunjukkan bahwa :
      a.       Hukum kebiasaan internasional akan diterapkan sebagai bagian dari hukum nasional;
b.      Hukum kebiasaan tersebut haruslah diformulasikan dengan kehati-hatian dan didukung bukti-bukti;
      c.       Tidak tunduk pada doktrin stare decisis;
      d.      Hukum kebiasaan tidak akan diterapkan bila bertentangan dengan HN, baik HN itu lahir lebih dulu ataupun belakangan.
Sumber HI yang berasal dari dari perjanjian, praktik inggris membedakannya menjadi 2 yaitu:
1.        Perjanjian-perjanjian yang membutuhkan persetujuan parlemen (unincorporated treaties). Perjanjian ini materinya dianggap cukup penting dan prinsip.
2.    Perjanjian yang tidak membutuhkan persetujuan parlemen (incorporated treaties). Perjanjian ini bersifat teknis yang tidak begitu prinsip dapat otomatis menjadi bagian dari HN Inggris.

PRAKTIK DI AMERIKA SERIKAT
      HI menjadi bagian bagian dari HN Amerika serikat dan bahwa hukum kebiasaan menempati kedudukan penting di pengadilan nasional AS. Sama halnya dengan praktik Inggris, meskipun terhadap hukum kebiasaan berlaku doktrin inkorporasi, hukum nasioal akan diutamakan bilamana ada konflik dengan hukum kebiasaan. Praktik AS membedakan perjanjian internasional menjadi 2 yaitu perjanjian yang berlaku dengan sendirinya sebagai bagian dari HN (self executing treaties) dan perjanjian yang tidak berlaku dengan sendirinya (non self executing treaties).

PRAKTIK DI INDONESIA
      Dalam membuat HN Indonesia senantiasa memerhatikan HI yang sudah ada baik yang bersumberkan pada hukum kebiasaan maupun perjanjian internasional. praktik Indonesia berkaitan denagn perjanjian internasional tidak jauh berbeda dengan praktik di Negara-negar lain seperti yang telah dipaparkan sebelumnya. Dalam praktik Indonesia masih terdapat ketidakjelasan apakah Indonesia menganut teori monisme ataukah menganut teori dualisme, termasuk apakah suatu perjanjian internasional yang telah diratifikasi melalui undang-undang atau keppres ratifikasi langsung dapat diberlakukan langsung kepada masyarakat Indonesia ataukah harus dibuat aturan pelaksanaannya terlebih dahulu.

D.    HI dan HN Saling Memengaruhi dan Membutuhkan Satu Sama Lain
      Menempatkan HI dan HN tidak harus dalam perspektif hierarki satu dengan yang lain yang seolah melihat HI-HN senantiasa berkonfrontasi atau bertentangan satu dengan yang lain. Dalam praktik sesungguhnya antara HI dan HN saling membutuhkan dan memengaruhi satu sama lain. Pertama, HI akan lebih efektif bila telah ditransformasikan ke dalam HN. Kedua, HI akan menjembatani ketika HN tidak dapat diterapkan di wilayah Negara lain. Ketiga, HI akan mengharmonisasikan perbedaan-perbedaan dalam HN. Keempat, HI banyak tumbuh dari praktik HN Negara-negara.
























BAB IV
SUBJEK-SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL

A.    Pengertian Subjek Hukum dalam Hukum Internasional
      Subjek hukum internasional seharusnya memiliki kecakapan-kecakapan hukum internasional utama (the main international law capacities) untuk mewujudkan kepribadian hukum internasionalnya (international legal personality). Kecakapan hukum yang dimaksud adalah :
ü  Mampu untuk menuntut hak-haknya di depan pengadilan internasional (dan nasional);
ü  Menjadi subjek dari beberapa atau semua kewajiban yang diberikan oleh HI;
ü  Mampu membuat perjanjian internasional yang sah dan mengikat dalam hukum internasional;
ü  Menikmati imunitas dari yurisdiksi pengadilan domestic.

B.     Macam-macam Subjek Hukum Internasional
1.      Negara
a.       Karakteristik Negara (Pasal 1 Konvensi Montevideo 1933) :
ü  Memiliki a defined territory : suatu wilayah yang pasti (fixed territory) merupakan persyaratan mendasar adanya suatu Negara. Meskipun begitu tidak ada persyaratan daalm HI bahwa semua perbatasan sudah final dan tidak memiliki sengketa perbatasan lagi dengan Negara-negar tetangga. HI juga tidak mensyaratkan batas minimum maupun maksimum wilayah suatu Negara.
ü  Memiliki a permanent population : Negara tidak akan exis tanpa penduduk. a permanent population dimaksudkan untuk stable community. Tidak ada persyaratan jumlah minimum penduduk yang harus dimiliki suatu Negara. HI juga tidak mensyaratkan bahwa penduduk haruslah homogeneous.
ü  Memiliki pemerintahan (government) : pemerintah yang dimaksud adalah pemerintah yang berdaulat, mampu menguasai organ-organ pemerintahan secara efektif dan memelihara ketertiban dan stabilitas dalam negeri yang bersangkutan.
ü  Kemampuan untuk melakukan hubungan dengan Negara lain.

b.      Macam-macam Bentuk Negara dan Kesatuan Bukan Negara
ü  Negara kesatuan : memberikan kekuasaan penuh kepada ppemerintah pusat untuk melaksanakan kegiatan hubungan luar negeri. Contoh : Indonesia dan Perancis.
ü  Negara federasi : gabungan dari sejumlah Negara yang dinamakan Negara bagian yang sepakat untuk membagi wewenang aturan pemerintah federal dengan Negara bagiannya. Contoh : AS dan Kanada.
ü  Negara konfederasi : dua atau lebih Negara merdeka memutuskan bersatu untuk meningkatkan kesejahteraan dan kepentingan bersama mereka. Contoh : Swiss dan Netherland.
ü  Negara-negara persemakmuran : persatuan Negara-negara berdaulat yang memutuskan untuk memelihara persahabatan dan kerjasama dengan inggris serta mengakui kerajaan inggris sebagai symbol kepemimpinan asosiasi mereka.
ü  Negara mikro : suatu Negara yang merdeka dan memiliki kedaulatan penuh. Namun, Negara ini memiliki wilayah, SDM dan SDE sangat kecil. Contoh : Tongga, Nauru, Fiji.
ü  Negara netral : Negara yang kemerdekaan dan integritas politik dan wilayahnya dijamin secara permanen dengan perjanjian kolektif Negara-negara besar dengan syarat Negara yang dijamin tersebut tidak akan pernah menyerang Negara lain kecuali untuk membela diri, tidak akan pernah membuat traktat aliansi dan sebagainya yang dapat merusak sikap ketidaknetralan atau ketidakmemihaknya atau menjerumuskannya dalam perang.
ü  Negara protektorat : Negara merdeka dan memiliki kedaulatan penuh. Namun, Negara ini berada dibawah perlindungan Negara lain yang lebih kuat berdasarkan suatu perjanjian internasional. contoh : Tunisia dan Maroko pernah menjadi protektorat Prancis.
ü  Condomium : timbul bila suatu wilayah tertentu dilaksanakan penguasaan bersama oleh dua atau tiga Negara. Contoh : New Hybrida .
ü  Wilayah perwalian : wilayah yang pemerintahannya diawasi oleh Dewan Perwalian PBB karena dipandang belum mampu memerintah sendiri. Wilayah perwalian yang dibentuk berdasar perjanjian San Fransisco aetelah PD II meliputi : daerah-daerah mandate peninggalan Liga Bangsa-Bangsa, daerah-daerah yang dipisahkan dari Negara-negara yang kalah dalam PD II, daerah dari suatu Negara yang memang dengan sukarela diserahkan sendiri kepada Dewan Perwalian.

c.       Hak dan Kewajiban Dasar Negara
1.      Hak atas kemerdekaan dan self determination
ü  Self Determination era Liga Bangsa-Bangsa (LBB)
      Maksud dari gagasan self determination sebenarnya adalah agar diberikan kesempatan pasca PD I berdasarkan asas demokrasi kepada golongan-golongan minoritas di Eropa untuk menentukan nasibnya sendiri dengan membentuk Negara-negara merdeka yang tidak dimasukkan dalam wilayah Negara-negara yang menang perang
ü  Self Determination di era PBB
              Piagam PBB mengartikan self determination sebagai hak dari people untuk menciptakan keadaan-keadaan yang tertib (stability) dan kemakmuran (well being), yang merupakan dasar terciptanya perdamaian dan hubungan persahabatan antarnegara.
Selain dalam piagam, self determination right juga dapat dilihat Pasal 1 ayat (1) dua konvenan, yaitu international convenant on civil and political rights  serta international convenant on economic, social & cultural right.
Tonggak sejarah penting lainnya berkaitan dengan self determination right adalah dikeluarkannya Resolusi 1514 (XV), Declaration on the Granting of the Independence to Colonial Countries and Peoples 1960. Dalam deklarasi ini memuat prinsip-prinsip penting dan mendasar bagi pelaksanaan hak penentuan nasib sendiri serta kondisi-kondisi yang harus segera dipenuhi oleh penguasa administrasi :
ü  Penguasaan/penaklukan bangsa dengan dominasi, eksploitasi merupakan pelanggaran HAM bertentangan dengan piagam PBB yang dapat mengganggu perdamaian dan keamanan seluruh dunia.
ü  Semua bangsa mempunyai hak untuk menetukan nasib sendiri dan untuk menetukan status politiknya secara bebas dan mengejar perkembangan ekonomi, social dan budayanya.
ü  Persiapan yang kurang memadai di bidang politik, ekonomi dan social tidak menjadi alasan untuk menunda kemerdekaan suatu bangsa.
ü  Tindakan militer dan penekanan-penekanan lainnya yang ditujukan kepada bangsa yang belum merdeka harus dihentikan untuk memungkinkan pelaksanaan kemerdekaan secara bebas dan damai dan keutuhan wilayah nasionalnya juga harus dihormati.
ü  Daerah-daerah perwalian dan wilayah tak berpemerintahan sendiri dan wilayah-wilayah lainnya yang belum memperoleh kemerdekaan agar segera dilimpahkan kewenangannya kepada rakyat (bangsa) di wilayah-wilayah teersebut tanpa syarat apapun.
ü  Setiap usaha yang ditujukan untuk memecahkan sebagian atau seluruh kesatuan nasional maupun keutuhan wilayah suatu Negara adalah bertentangan dengan tujuan dan prinsip-prinsip PBB.
Selanjutnya Majelis Umum PBB juga mengeluarkan Resolusi Nomor 1541 (XV) tentang penentuan nasib sendiri pada tahun 1960. Resolusi tersebut antara lain mencantumkan alternative pilihan bagi wilayah yang belum berpemerintahan sendiri untuk menentukan nasib masa depannya, yaitu :
ü  Menjadi Negara merdeka dan berdaulat;
ü  Melakukan asosiasi bebas dengan Negara merdeka;
ü  Berintegrasi dengan suatu Negara merdeka;
ü  Perubahan status politik apa pun yang ditentukan rakyat.
Perkembangan selanjutnya adalah bahwa pada tahun 1970 kembali MU PBB mengeluarkan resolusi yaitu resolusi Nomor 2625 (XXV) tentang prinsip-prinsip hukum internasional mengenai hubungan persahabatan dan kerja sama antarnegara.
ü  Perkembangan penafsiran self determination dalam teori dan praktik
      Penafsiran sempit self determination right yang hanya dikaitkan dengan daerah kolonisasi dipandang sebagai pandangan klasik. Putusan EC Arbitration Commision on Yugoslavia menunjukkan  bahwa self determination right ada bagi people di wilayah yang merupakan bagian dari suatu Negara federal asalkan mereka dapat memenuhi persyaratan factual sebagai Negara (statehood) sebagaimana yang disyaratkan dalam Konvensi Montevindo.
      Setidaknya ada tujuh faktor yang menjadi motivasi maraknya tuntutan self determination untuk memisahkan diri dari suatu Negara yaitu faktor sejarah integrasi, faktor bentuk Negara sebalumnya, penerapan system Negara federal, faktor kekuatan eksternal, perbedaan agama, etnik dan sosio ekonomi serta semakin sedikitnya generasi pertama integrasi yang penuh dengan emosi nasionalisme.
      Esensi dari self determination adalah human dignity, human rights dan otoritas bangsa (people). Hal yang sangat penting dalam menjawab tuntutan self determination adalah keseimbangan antara kebebasan memilih dan dapat dipelihara dan dipertahankannya kelangsungan hidup komunitas serta konsekuensi-konsekuensi yang mungkin muncul sebagai akibat dari putusan memisahkan diri dari kesatuannya. Pelaksanaan tuntutan self determination harus memenuhi syarat “ a free and genuine expression of the will “ dari kelompok yang bersangkutan.
2.   Hak untuk melaksanakan yurisdiksi terhadap wilayah, orang dan benda yang berada dalam wilayahnya.
      Hak untuk melaksanakan yurisdiksi terhadap wilayah, orang dan benda yang berada dalam wilayahnya merupakan hak yang melekat pada setiap Negara merdeka sebagai konsekuensi dari kedaulatan yang dimilikinya.
3.      Hak untuk mendapatkan kedudukan hukum yang sama dengan Negara yang lain
      Adanya perkembangan baru dalam hukum internasional bahwa prinsip persamaan kedudukan tidaklah harus ditafsirkan harus memberikan hak dan kewajiban yang sama pada semua Negara. Prinsip persamaan dapat diterapkan dalam kondisi adanya kesetaraan.
4.      Hak untuk menjalankan pertahanan diri sendiri atau kolektif (self defence)
      Secara tekstual Pasal 51 piagam PBB memberikan hak pada Negara secara individual atau kolektif untuk melakukan pembelaan diri sendiri (self defence) jika terjadi serangan militer terhadap anggota PBB. Namun jika belum ada serangan militer maka Negara tidak diberikan hak untuk melakukan self defence.
d.      Kewajiban-kewajiban dasar Negara
·         Kewajiban untuk tidak melakukan intervensi terhadap masalah-masalah yang terjadi di Negara lain;
·         Kewajiban untuk tidak menggerakkan pergolakan sipil Negara lain;
·         Kewajiban untuk memperlakukan semua orang yang berada di wilayahnya dengan memerhatiakn HAM;
·         Kewajiban untuk menjaga wilayahnya agar tidak membahayakan perdamaian dan keamanan internasional;
·         Kewajiban untuk menyelesaikan sengketa secara damai;
·         Kewajiban untuk tidak menggunakan kekuatan atau ancaman senjata;
·         Kewajiban untuk tidak membantu terlaksananya penggunaan kekuatan atau ancaman senjata;
·         Kewajiban untuk tidak mengakui wilayah-wilayah yang diperoleh melalui cara-cara kekerasan;
·         Kewajiban untuk melaksanakan kewajiban internasional dengan itikad baik;
·         Kewajiban untuk mengadakan hubungan dengan Negara-negara lain sesuai hukum internasional.
2.      Organisasi (Publik) Internasional
      Organisasi internasional adalah suatu organisasi yang dibentuk dengan perjanjian internsional oleh dua Negara atau lebih berisi fungsi, tujuan, kewenangan, asas, struktur organisasi. Kemampuan organisasi bertindak dibatasi oleh piagam pembentukannya. Organisasi internasional diakui sebagai subjek HI sejak keluarnaya advisory opinion Mahkamah Internasional dalam kasus Reparation Case 1949. Namun, Organisasi Internasional yang diakui sebagai subjek HI harus memenuhi karakteristik berikut :
·         Dibentuk dengan suatu perjanjianinternasional oleh lebih dari dua Negara, apapun namanya dan tunduk pada rezim HI;
·         Memiliki secretariat tetap.
Dengan terpenuhinya 2 karakteristik tersebut maka organisasi tersebut akan lebih jelas dan memiliki kecakapan-kecakapan hukum internasional (international legal capacity).
3.      International Non Government Organization (INGO)
      International Non Government Organization (INGO) merupakan bagian dari Organisasi internasional yang bergerak di berbagai bidang seperti : baerbagai layanan hukum, keluarga berencana, psikiater, pekerja social, perlindungan lingkungan, perlindungan satwa langka, dan lain-lain.
4.      Individu (Natural Person)
      Pengakuan hukum internasional terhadap individu sebagai subjek hukum internasional terbatas peda dimungkinkannya individu dituntut di depan pengadilan internasional untuk bertanggung jawab secara pribadi atas namanya sendiri terhadap kejahatan-kejahatan internasional yang telah dilakukannya. Meskipun bebrapa forum internasional telah memberikan hak kepada individu untuk akses langsung ke forum tanpa harus atas nama negaranya, namun masih dalam ruang lingkup yang sangat terbatas.
5.      Perusahaan Transnasional
      Perusahaan transnasional adalah perusahaan yang didiriakan di suatu Negara, tetapi beroperasi di berbagai Negara. Untuk menuntut maupun dituntut di pengadilan internasional ia harus diwakili oleh negaranya. International Personality perusahaan transnasional hanya ada ketika hubungan internasional yang dilakukannya diatur oleh hukum internasional.
      Sama seperti individu, Konvensi Washington 1964 memberikan hak pada perusahaan transnasional untuk akses langsung ke forum harus diwakili negaranya, namun harus dengan persetujuan kedua belah pihak, hanya bila home state dan host state merupakan Negara pihak pada Washington Convention dan hanya untuk sengketa yang berkaitan dengan hukum dagang khususnya yang berkaitan dengan penanaman modal asing.
      Dalam praktek, banyak dibuktikanadanya pelanggaran HAM yang dilakukan Negara transnasional, namun pada umumnya hanya sedikit yang bisa ditindaklanjuti atau dip roses secara hukum.
6.      ICRC (International Committee on The Red Cross)
      ICRC atau Palang Merah Internasional merupakan organisasi non pemerintah yang anggotanya palang merah-palang merah nasional Negara-negara. Berkedudukan di Swiss. Kedudukan Non Government Organization ini sebagai subyek HI tidak lepas dari perannya yang besar dalam memberikan pertolongan pada korban perang khususnya PD I dan PD II selain itu juga kontribusinya yang besar pada pembentukan Konvensi-Konvensi Jenewa 1949 yang mengatur tentang hukum perang atau hukum humaniter internasional. Tapi meskipun mendapat status subjek HI namun masih dalam ruang lingkup yang terbatas.
7.     Organisasi Pembebasan/Bangsa yang Meperjuangakan Haknya (National Liberation Organization/Representative Organization)
      Bangsa yang Meperjuangakan Haknya adalah suatu bangsa yang berjuang memperoleh kemerdekaan melawan Negara asing yang menjajahnya. Meskipun banayak yang menamakan kelompoknya organisasi pembebasan, tetapi tidak semuanya mendapatkan pengakuan sebagai subjek hukum internasional karena tidak ada criteria objektif untuk menentukan apakah suatu kelompok sudah berhak menyandang status sebagai organisasi pembebasan atau bangsa yang memperjuangkan haknya atau belum.
8.      Belligerent
      Belligerent disebut juga kaum pemberontak dalam hukum internasional tidak akan terpisahkan dari masalah separatism. Hukum internasional tidak mengatur masalah pemberontakan. Hukum yang berlaku terhadap peristiwa pemberontakan tersebut adalah hukum nasional Negara yang bersangkutan.





BAB V
PENGAKUAN DALAM HUKUM INTERNASIONAL

A.    Istilah, Definisi Serta Manfaat Pengakuan
Pada umumnya untuk dapat diterima sepenuhnya dalam masyarakat internasional, suatu entitas baru apakah itu suatu Negara baru, pemerintah baru, kelompok pemberontak ataukah perolehan tambahan wilayah tertentu membutuhkan suatu pengakuan dari pihak lain.
Dilihat dari bentuknya, pengakuan dapat dibedakan menjadi :
1.      Pengakuan terhadap Negara baru;
2.      Pengakuan terhadap pemerintah baru;
3.      Pengakuan terhadap belligerency;
4.      Pengakuan terhadap representative organization;
5.      Pengakuan terhadap perolehan tambahan territorial.
Adapun dilihat dari cara atau metodenya, pengakuan dapat dibedakan menjadi :
1.     Pengakuan secara tegas (express recognition) yang dapat dilakukan dengan pernyataan  pengakuan lewat public statement, nota diplomatic, atau juga perjanjian bilateral.
2.     Pengakuan secara diam-diam (implied recognized) contohnya seperti seperti Negara membuka hubungan diplomatic dengan suatu Negara baru, kehadiran pimpinan suatu Negara pada upacara kemerdekaan suatu Negara baru.
B.     Pengakuan Terhadap Negara Baru
Pengakuan terhadap Negara baru muncul antara lain karena kurang jelasnya  syarat atau karakteristik yang nharus dipenuhi oleh suatu entitas baru untuk dikatakan sebagai Negara. Ada beberapa teori yang dikenal dalam dalam pengakuan terhadap Negara baru yaitu :
1.      Teori Deklaratoir/Evidenter (Declaratory Theory)
Menurut teori ini, lahirnya suatu Negara hanyalah merupakan suatu peristiwa fakta yang sama sekali lepas dari ketentuan-ketentuan hukum internasional. Adapun pengakuan semata-mata merupakan tindakan formalitas, penegasan atau penerimaan terhadap fakta yang sudah ada tersebut. Dengan demikian pengakuan tidak melahirkan Negara baru.
Kelemahan dari teori ini menurut Alina Kaczorowska adalah menempatkan pengakuan pada titik terendah atau empty formality. Dalam praktik tidak ada jaminan Negara yang memiliki lengkap atribut statehood langsung diteima sebagai subjek hukum internasional. dalam praktik hukum internasional, Negara tidak mempunyai kewajiban untuk mengakui suatu Negara baru semata-mata karena atribut kenegaraan yang melekat padanya. Teori deklaratif mandul, tidak cocok ketika diterapkan daalm kasus Rhodensia.



2.      Teori Konstitutif
Menurut teori ini suatu Negara baru lahir bila telah diakui Negara lain. Sekalipun entitas memiliki atribut formal dan kualifikasi statehood, tetapi tanpa pengakuan entitas baru tersebut tidak dapat memperoleh international personality. Dengan demikian pengakuan melahirkan suatu Negara baru, memiliki kekuatan konstitutif.
Dalam praktik ternyata teori konstitutif berlandaskan pertimbangan politik murni. Seberapa jauh keuntungan yang akan diperoleh oleh Negara yang member pengakuan. Teori konstitutif sangat memungkinkan suatu entitas diakui oleh beberapa Negara, tetapi ditolak oleh yang lain. Adapaun kelemahan yang melekat pada penerapan teori konstitutif sebagai berikut :
ü  Negara-negara baru yang tidak mendapat pengakuan akan menjadi entitas tanpa hak dan kewajiban di bawah hukum internasional sampai memperoleh pengakuan.
ü  Praktik Negara menunjukkan bahwa pemberian pengakuan merupakan tindakan politik untuk kepentingan Negara yang memberi pengakuan semata.
ü  Tidak ada kejelasan berkaitan dengan jumlah minimum Negara yang memberikan pengakuan yang diperlukan bagi suatu entitas baru untuk menjadi Negara.
ü  Tidak ada kejelasan berkaitan dengan parameter suatu entitas baru untuk menjadi Negara.
ü  Dapat menciptakan instabilitas suatu Negara.
Namun, teori konstitutif tidak sesuai ketika diterapakan pada kasus lahirnya Negara-negara baru abad ke-20 yang pada umumnya sebagai implementasi program dekolonisasi PBB.
3.      Teori Pengakuan Kolektif
              Teori pengakuan kolektif ini datangnya dari Jessup yang menghendaki pengakuan diberikan secara kolektif oleh sekelompok Negara tertentu (group-recognition). Jessup juga mnegemukakan lembaga seperti International Court of Justice serta Majelis Umum PBB diberi kewenangan untuk itu.
              Apa yang dikemukakan oleh Jessup sebenarnya tindak lanjut dari teori konstitutif  bahwa kelahiran Negara baru harus melewati lembaga pengakuan yang parameternya ditentukan secara kolektif (oleh lembaga internasional tertentu) demikian pula pemberian atau penolakannya juga diberikan secara kolektif. Hal ini untuk mencegah masing-masing Negara bertindak sendiri-sendiri tanpa parameter hukum yang jelas. Meskipun teori ini masih banyak diperdebatkan, namun teori ini sangat tepat diterapkan dalam kasus disintegrasi Yugoslavia dan Uni Soviet.

4.      Akibat Hukum Tidak Mendapat Pengakuan Sebagai Negara Baru
a.       Negara tidak dapat membuka perwakilan diplomatic di Negara yang menolak mengakui;
b.      Hubungan diplomatic sulit untuk dilakukan;
c.       Warga dari Negara yang tidak diakui sulit untuk masuk ke wilayah Negara yang tidak mau mengakui;
d.      Warga dari Negara yang tidak diakui tidak dapat mengajukan tuntutan di depan pengadilan nasional Negara yang tidak mau mengakui.

C.     Pengakuan Terhadap Pemerintah Baru
Berikut ini merupakan teori-teori yang membahas tentang pengakuan terhadap pemerintah baru :
1.      Teori Legitimasi (Oppenheim-Lauterphact)
Menurut teori ini pangakuan hanya suatu formalitas/kesopanan dalam hubungan internasional. dengan demikian, tidak memiliki kekuatan konstitutif. Dalam praktik, teori ini tidak bisa diterapkan dengan mudah ketika pergantian yang terjadi secara inskonstitusional.

2.      Teori Defactoism (Thomas Jefferson)
Thomas Jefferson mencoba untuk memberikan penilaian yang objektif criteria pemerintah yang lahir secara inskonstitusional untuk layak diakui yaitu :
1.      Menguasai secra efektif organ-organ pemerintah yang ada;
2.      Mendapat dukungan dari rakyat;
Ketika syarat diatas belum terpenuhi maka menurut Thomas Jefferson sebaiknya pemerintah baru tersebut diakui secara de facto untuk kemudian ditingkatkan menjadi pengakuan de jure ketika menurut keyakinan pihak yang akan mengakui syarat-syarat yang ditentukan terpenuhi.
3.      Teori Legitimasi Konstitutif (Tobar)
Menurut Tobar ketika terjadi pergantian pemerintah secara inkonstitusional sebaiknya pengakuan diberikan setelah pemerintah baru mendapat legitimasi konstitusional dalam Hukum Nasional Negara setempat.
4.      Teori Stimson
Menurut Stimson pengakuan tidak perlu diberikan terhadap pemerintah baru yang lahir dari kudeta. Teori ini disatu sisi memang bermaksud untuk mencegah terjadinya kudeta karena akan menimbulkan instabilitas. Namun, bila pintu pengakuan tertutup bagi pemerintah baru yang lahir dari kudeta maka dapat menimbulkan ketidakadilan pula, mengingat adakalanya pemerintah yang berkuasa adalah pemerintah yang otoriter, kejam dan sangat membuat rakyat menderita.
5.      Teori Estrada (Non Recognition Doctrine)
Estrada menyatakan bahwa mengakui atau menolak mengakui pemerintah baru suatu Negara sama dengan intervensi terhadap urusan dalam negeri Negara yang bersangkutan. Untuk itu Estrada menyerukan untuk menghapuskan lembaga pengakuan. Dan Teori ini dianggap paling aman dan diikuti banyak Negara.



6.      Akibat Hukum Pemerintah yang Tidak Memperoleh Pengakuan
ü  Pemerintah yang tidak diakui tidak dapat mengajukan tuntutan di wilayah Negara yang tidak mengakuinya;
ü  Pemerintah yang tidak diakui tidak dapat menuntut pencairan aset-aset negaranya yang ada di wilayah Negara yang tidak mengakui;
ü  Perjanjian yang dibuat pemerintah lama dengan Negara yang tidak mau mengakui tidak dapat dilaksanakan.


























BAB VI
KEDAULATAN TERITORIAL
A.    Wilayah Daratan
Pengaturan wilayah Negara menurut UU Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara bertujuan :
1.      Menjamin keutuhan wilayah Negara, kedaulatan Negara, dan ketertiban di Kawasan Perbatasan demi kepentingan kesejahteraan segenap bangsa;
2.      Menegakkan kedaulatan dan hak-hak berdaulat;
3.      Mengatur pengelolaan dan pemanfataanWilayah Negara dan Kawasan Perbatasan, termasuk pengawasan batas-batasnya.

Daratan suatu Negara dapat berupa daratan awal suatu Negara dan daratan tambahan suatu Negara. Luas daratan awal dapat terjadi atau ditentukan oleh tindakan atau pernyataan sepihak suatu Negara ketika memproklamirkan kemerdekaannya, oleh perjanjian internasional, suatu kebiasaan internasional ataupun ditentukan oleh perkembangan setelah Negara itu terbentuk.
Di samping daratan awal, dalam hukum internasional dikenal juga adanya wilayah tambahan yang berdasarkan teori-teori hukum internasional klasik dapat diperoleh oleh suatu Negara dengan cara sebagai berikut :
1.      Okupasi atau Pendudukan
Okupasi/pendudukan merupakan perolehan/penegakan kedaulatan atas wilayah yang terra nullius yaitu wilayah yang bukan sebelumnya belum pernah diletakkan di bawah kedaulatan suatu Negara. Unsure-unsur yang harus terpenuhi oleh tindakan okupasi adalah :
1.      Adanya penemuan (discovery) terhadap wilayah terra nullius;
2.      Adanya niat atau kehendak dari Negara yang menemukan wilayah baru itu untuk menjadikannya sebagai miliknya atau menempatkannya di bawah kedaulatannya;
3.      Adanya niat tersebut harus diwujudkan dalam tindakan-tindakan yang efektif.
Disamping banyak tidaknya tindakan yang dilakukan suatu Negara untuk mengklaim dengan alasan hak okupasi sangat ditentukan oleh hal-hal berikut :
a.       Jauh tidaknya pulau yang di klaim dari Negara yang bersangkutan;
b.      Besar kecilnya pulau yang diklaim;
c.       Banyak tidaknya kekayaan alam yang terdapat di pulau tersebut;
d.      Sulit tidaknya medan yang harus ditempuh untuk mencapai pulau tersebut.

2.      Aneksasi atau Penaklukan
Aneksasi adalah penggabungan suatu wilayah Negara lain dengan kekerasan atau paksaan ke dalam wilayah Negara yang menganeksasi. Syarat atau unsure telah terjadinya perolehan wilayah dengan aneksasi adalah bahwa wilayah benar-benar telah ditaklukkan serta adanya pernyataan kehendak secara formal oleh Negara penakluk untuk menganeksasinya.

3.      Akresi
Akresi merupakan cara perolehan wilayah baru dengan proses alam (geografis) terhadap wilayah yang sudah ada di bawah kedaulatan suatu Negara. Proses atau kejadian alam tersebut dapat terjadi perlahan-lahan, bertahap seperti endapan-endapan lumpur yang membentuk daratan, ataupun mendadak seperti pemindahan tanah.

4.      Preskripsi
Preskripsi adalah perolehan wilayah oleh suatu Negara akibat pelaksanaan secara damai kedaulatan de facto dalam jangka waktu yang lama atas wilayah sebenarnya de jure masuk wilayah Negara lain. Beberapa syarat bagi preskripsi menurut Fauchille dan Johnson sebagaimanayang dikuti oleh Ian Browline adalah sebagai berikut :
a.       Kepemilikan tersebut harus dilaksanakan secara a titre de souverain, yaitu bahwa pemilikan tersebut harus memperhatikan suatu kewenangan/kekuasaan Negara dan di wilayah tersebut tidak ada Negara lain yang mengklaimnya.
b.      Kepemilikan tersebut harus berlangsung secara terus-menerus dan damai, tidak ada Negara lain yang mengklaimnya.
c.       Kepemilikan Negara tersebut harus bersifat public yaitu harus diumumkan atau diketahui oleh pihak lain.

5.      Cessie
Cessie adalah cara perolehan tambahan wilayah melalui proses peralihan hak dari satu Negara ke Negara lain. Cessie dapat dilakukan dengan sukarela maupun dengan kekerasan.

6.      Referendum
Referendum merupakan cara modern diantara ke lima cara yang lain. Referendum atau pemungutan suara merupakan implementasi atau tindak lanjut dari keberadaan hak menentukan nasib sendiri dalam hukum internasional. proses referendum yang sah adalah yang dilakukan secara langsung one man one vote dan dengan dipantau lembaga internasional yang sah.

B.     Wilayah Laut
Wilayah laut adalah laut beserta tanah yang ada didalamnya. Konvensi PBB tentang hukum laut 1982 (UNCLOS 1982) melahirkan delapan zona pengaturan (regime) hukum laut yaitu :
1.      Perairan pedalaman (internal waters) : perairan yang berada pada sisi darat (dalam) garis pangkal.
2.      Perairan kepulauan (archiplegic waters) termasuk kedalamnya selat yang digunakan untuk pelayaran internasional.
3.      Laut territorial (Teritorial waters) : laut yang terletak pada sisi luar dari garis pangkal dan tidak melebihi dari 12 mil laut.
4.      Zona tambahan (Contingous waters) : laut yang terletak pada sisi luar garis pangkal dan tidak melebihi 24 mil laut dari garis pangkal.
5.      Zona ekonomi eksklusif / ZEE (Exclusive economic zone) : suatu zona selebar tidak lebih dari 200 mil laut dari garis pangkal.
6.      Landas Kontinen (Continental shelf) : meliputi dasar laut dan tanah di bawahnya dari area di bawah permukaan laut yang terletak di luar laut territorial.
7.      Laut lepas (High seas) : laut ini tidak masuk dalam kawasan-kawasan yang telah disebutkan sebelumnya. Terhadap kawasan laut lepas berlaku berbagai prinsip kebebasan dalam batas-batas hukum internasional.
8.      Kawasan dasar laut internasional (International sea-bed area) : kawasan dasar laut yang tidak terletak dalam yurisdiksi Negara manapun.

C.     Wilayah Ruang Udara (Air Space), Dasar Hukum dan Permasalahan Indonesia.
Wilayah udara suatu Negara adalah ruang udara yang di atas wilayah daratan, wilayah laut pedalaman, laut territorial dan juga wilayah laut Negara kepulauan. Pasal 1 Konvensi Paris yang dikuatkan oleh Konvensi Chicago 1944 menegaskan bahwa Negara mempunyai kedaulatan penuh dan eksklusif atas ruang udaranya. Adapun permasalahan Indonesia yaitu mengenai lalu lintas penerbangan dan pengakuan internasional atas ruang udara di atas Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) yang selama ini dianggap wilayah bebas menjadi bagian dari kedaulatan wilayah indonesia.

D.    Wilayah Ruang Angkasa (Outer Space)
Prinsip-prinsip dalam Space Treaty 1967 yaitu :
ü  Prinsip non kepemilikan yang menyatakan bahwa ruang angkasa merupakan milik bersama dan tidak bisa diklaim;
ü  Prinsip yang menyatakan bahwa ruang angkasa adalah zona yang bebas untuk di eksploitasi oleh semua Negara sepanjang untuk tujuan damai yang selanjutnya dijabarkan menjadi prinsip first come first served.




BAB VII
YURISDIKSI NEGARA DALAM HUKUM INTERNASIONAL

A.    Pengertian Yurisdiksi Negara Dalam Hukum Intrenasional
Kata yurisdiksi (jurisdiction) berasal dari kata yurisdictio. Kata yurisdictio berasal dari dua kata yaitu kata Yuris dan Diction. Yuris berarti kepunyaan hukum atau kepunyaan menurut hukum. Adapun Dictio berarti ucapan, sabda atau sebutan. Dengan demikian dilihat dari asal katanya Nampak bahwa yurisdiksi berkaitan dengan masalah hukum, kepunyaan menurut hukum atau kewenangan menurut hukum.
Ada tiga macam yurisdiksi yang dimiliki oleh Negara yang berdaulat menurut John O’Brien, yaitu:
1.      Kewenangan Negara untuk membuat ketentuan-ketentuan hukum terhadap orang, benda, peristiwa maupun perbuatan di wilayah teritorialnya (legislative jurisdiction or prescriptive jurisdiction) ;
2.      Kewenangan Negara untuk memaksakan berlakunya ketentuan-ketentuan hukum nasionalnya (executive jurisdiction or enforcement jurisdiction) ;
3.      Kewenangan pengadilan Negara untuk mengadili dan memberikan putusan hukum (yudicial jurisdiction).
B.     Prinsip-prinsip Yurisdiksi dalam HI
1.      Prinsip Yurisdiksi Teritorial
Menurut prinsip ini setiap Negara memiliki yurisdiksi terhadap kejahatan-kejahatan yang dilakukan di dalam wilayah atau teritorialnya. Dibandingkan prinsi-prinsip lain, prinsip territorial merupakan prinsip yang tertua, terpopuler dan terpenting dalam pembahasan yurisdiksi dalam HI.
2.      Prinsip Teritorial Subjektif
Berdasarkan prinsip ini Negara memiliki yurisdiksi terhadap seseorang yang melakukan kejahatan yang dimulai dari wilayahnya, tetapi diakhiri atau menimbulkan kerugian di Negara lain.
3.      Prinsip Teritorial Objektif
Berdasarkan prinsip ini sutau Negara memiliki yurisdiksi terhadap seseorang yang melakukan kejahatan yang menibulkan kerugian di wilayahnya meskipun perbuatan itu dimulai dari Negara lain.
4.      Prinsip Nasionalitas Aktif
Berdasarkan prinsip ini Negara memiliki yurisdiksi terhadap warga yang melakukan kejahatan di luar negeri. Indonesia memiliki yurisdiksi untuk mengadilil TKI yang membunuh majikannya di Arab Saudi atas dasar prinsip ini. Dalam praktik sering terjadi klaim yang tumpang tindih dari beberapa Negara karena pelaku kejahatan memiliki kewarganegaraan ganda. Karenanya sangat penting bagi suatu Negara untuk membuat aturan tegas siapa yang berhak mendapatkan kewarganegaraan di negaranya.
5.      Prinsip Nasionalitas Pasif
Berdasarkan prinsip ini Negara memiliki yurisdiksi terhadap warganya yang menjadi korban kejahatan yang dilakukan orang asing di luar negeri.
6.      Prinsip Universal
Berdasarkan prinsip ini setiap Negara memiliki yurisdiksi untuk mengadili pelaku kejahatan internasional yang dilakukan dimanapun tanpa memperhatikan kebangsaan pelaku maupun korban. Alas an munculnya prinsip ini adalah bahwa pelaku dianggap orang yang sangat kejam, musuh seluruh umat manusia, jangan sampai ada tempat untuk pelaku meloloskan diri dari hukuman, sehingga tuntutan yang dilakukan oleh suatu Negara terhadap pelaku adalah atas nama seluruh masyarakat internasional.
7.      Prinsip Perlindungan
Berdasarkan prinsip ini Negara memiliki yurisdiksi trehadap orang asing yang melakukan yurisdiksi terhadap orang asing yang melakukan kejahatan yang sangat serius yang mengancam kepentingan vital Negara.
C.     Penerapan Yurisdiksi Ektrateritorial
Yurisdiksi ekstrateritorial digunakan beberapa Negara berlandaskan kepentingan nasional, khususnya kepentingan nasional, khususnya kepentingan bisnis mereka. Sebagai contoh dapat dikemukakan jika dua perusahaan asing membuat perjanjiandi luar negeri untuk mengoordinasikan kebijakan harga barang-barang yang mereka pasarkan di wilayah Negara X dapatkah dikatakan bahwa  perjanjian ii melanggar hukum nasional Negara X atas dasar merugikan kepentingan Negara X.
Pelaksanaan yurisdiksi ekstrateritorial sering menimbulkan banyak masalah. Investasi cabang perusahaan yang ada di luar negeri misalnya, akan memerlukan kerja sama dari otoritas yang berwenang demikian halnya berkaitan dengan enforcement jurisdiction putusan pengadilan. Negara lain tidak memiliki kewajiban untuk membantu atau bekerja sama dengan otoritas asing berkaitan dengan pengakuan pelaksanaan putusan asing tersebut.
D.    Bentuk Kerja Sama Antarnegara Dalam Penerapan Yurisdiksi
Keterbatasan kedaulatan territorial bisa  dijembatani melalui kerja sama dengan Negara-negara lainnya untuk proses penegakan hukumnya. Keberhasilan kerja sama penegakan hukum tersebut pada umumnya tidak akan menjadi kenyataan jika tidakada perjanjian bilateral maupun multilateral dalam penyerahan pelaku kejahatan atau dalam kerja sama penyidikan, penuntutan, dan peradilan. Prasyarat perjanjian tersebut tidak bersifat mutlak karena tanpa ada perjanjian itupun kerja sama penegakan hukum dapat dilaksnakan berlandaskan asas resiprositas (timbal balik).
BAB VIII
TANGGUNG JAWAB NEGARA DALAM HUKUM INTERNASIONAL

A.    Munculnya Pertanggungjawaban Negara
Pertanggungjawaban Negara dalam hukum internasional pada dasarnya dilatarbelakangi pemikiran bahwa tidak ada satupun Negara yang dapat menikmati hak-haknya tanpa menghormati hak-hak Negara lain.
Dalam hukum internasional dikenal adanya dua  macam aturan yaitu  :
ü  Primary Rules : aturan yang mendefinisikan hak dan kewajiban Negara yang terutang dalam bentuk traktat, hukum kebiasaan atau instrument lainnya.
ü  Secondary Rules : aturan yang mendefinisikan bagaimana dan apa akibat hukum apabila primary rules itu dilanggar oleh Negara atau disebut juga hukum tanggung jawab Negara.
Berikut ini merupakan karakteristik timbulnya tanggung jawab menurut beberapa pakar hukum internasional :
ü  Adanya suatu kewajiban hukum internasional yang berlaku antara dua Negara tertentu;
ü  Adanya suatu perbuatan atau kelalaian yang melanggar kewajiban hukum internasional tersebut yang melahirkan tanggung jawab Negara.
ü  Adanya kerusakan atau kerugian sebagai akibat adanya tindakan yang melanggar hukum atau kelalaian.
B.     Elemen Tanggung Jawab Negara Menurut Draft ILC 2001
Tindakan berbuat atau tidak berbuat dari Negara dapat merupakan internationally wrongfull acts yang mengandung dua unsure yaitu :
ü  Dapat dilimpahkan pada Negara berdasarkan hukum internasional;
ü  Merupakan pelanggaran kewajiban terhadap hukum internasional (breach of an international obligation).
Pelanggaran terhadap kewajiban international bila tindakan Negara tersebut tidak sesuai dengan yang disyaratkan terhadapnya oleh kewajiban tersebut, apa pun sifat dan karakteristiknya. Adapun yang merupakan unsure-unsur tindakan salah adalah adanya tindakan atau pengabaian yang dapat dilimpahkan atau atribusikan kepada Negara menurut hukum internasional. tindakan Negara yang dapat dilimpahkan adalah :
ü  Tindakan dari semua organ Negara, baik yang legislative, eksekutif, yudikatif atau apa pun posisinya dalam struktur organisasi Negara dan apa pun karakternya sebagai organ pemerintah pusat atau territorial unit dari suatu Negara.
ü  Tindakan individu atau entity yang meskipun bukan organ Negara atau di luar struktur formal pemerintah pusat atau daerah, tetapi dikuasakan secara sah untuk melaksanakan unsure-unsur kekuasaan instansi tertentu pemerintah.
Suatu Negara yang membantu, memberikan petunjuk atau mengontrol Negara lain dalam melakukan internationally wrongfull acts bertanggung jawab secara internasional jika :
ü  That state does so with knowledge of the circumstance of the internationally wrongfull acts
ü  The act would be internationally wrongful acts if committed by that state
Negara yang bertanggung jawab terhadap internationally wrongfull acts wajib untuk :
ü  Cease that act, if it is continuing
ü  Offer appropriate assurances and guarantiees of non-repetition, if circumstance so require.
C.     Pemohon Tanggung Jawab Negara Dalam Draft ILC 2001
Bila hukum internasional klasik hanya memberikan hak pada Negara yang dirugikan saja untuk meminta tanggung jawab maka Draft ILC 2001 tentang tanggung jawab Negara membedakan antara Negara yang dirugikan (iinjured states) yang diatur dalam pasal 42 dan Negara yang tidak dirugikan (noninjured states).
An injured states yang meminta tanggung jawab dari Negara lain memberitahukan tuntutannya pada Negara tersebut supaya menghentikan tindakan pelanggarannya jika hal itu masih berlangsung. The injured states juga dapat menyertakan dalam tuntutannya bentuk pemulihan apa yang ia tuntut dari Negara pelanggar.
Dan berdasarkan Pasal 48 Draft ILC 2001 negara-negara selain injured states dapat mengajukan tuntutan pertanggungjawaban pada Negara lain dalam dua hal :
1.      Kewajiban yang dilanggar dimiliki suatu kelompok Negara termasuk Negara yang mengajukan tuntutan tersebut, ditetapkan untuk perlindungan kepentingan kelompok tersebut;
2.      Kewajiban yang dilanggar dimiliki oleh seluruh masyarakat internasional keseluruhan.
D.    Macam-Macam Tanggung Jawab Negara dalam Hukum Internasional
1.      Terhadap orang asing dan property milik asing
                    Menyangkut standart yang tepat untuk memperlakukan orang asing di suatu Negara sering kali menjadi perdebatan antara standart minimum internasional dengan standart nasional. Standart minimum internasional diinginkan oleh kelompok Negara maju yang senantiasa khawatir warganya diperlakukan buruk oleh Negara-negara berkembang dan terbelakang mengingat pemerintah di Negara-negara ini banyak yang sering memperlakukan buruk warganya sendiri.
                    Manakala standart minimum tidak terpenuhi maka akan muncul tanggung jawab internasional. arti standart disini tidak hanya standart hukumnya, tetapi juga standart dalam arti penegakan hukumnya. Adapun standart nasional adaalh apa yang dikemukakan Negara-negara berkembang dan terbelakang yang menginginkan peresamaan perlakuan antara warga negaranya sendiri dengan warga Negara asing menurut standart nasional.
                    Untuk menyelesaikan perbedaan tersebut, Amador berpendapat bahwa kedua pendekatan tersebut bermuara pada satu titik temu yaitu didalam konsep pengaduan internasional terhadap HAM yang esensial. Sehingga ia merumuskan dua prinsip yaitu :
ü  Orang asing harus menikmati hak-hak serta jaminan yang sama dengan warga Negara yang bersangkutan.
ü  Tanggung jawab internasional akan timbul apabila HAM/fundamental tersebut dilanggar.
2.      Terhadap Utang Publik
                    Menurut Strake ada tiga teori yang menjelaskan bagaimana kreditor menghadapi debitur yang tidak memenuhi kewajiban membayar hutangnya :
ü  Teori oleh Lord P yang menyatakan bahwa kegagalan Negara membayarkan hutang memberikan hak kepada pihak kreditor untuk mengambil langkah yang dirasakannya perlu untuk memaksa pihak debitur melaksanakan kewajibannya.
ü  Teori oleh Dargo yang menyatakan masalah penyelesaian hutang Negara hanya dapat dilakukan melalui diplomatic maupun jalur hukum.
ü  Kewajiban debitur berkaitan dengan utangnya sama dengan kewajiban yang muncul dari perjanjian internasional lainnya.
3.      Terhadap Aktivitas Ruang Angkasa
                    Aktivitas ruang angkasa dianggap sebagai aktivitas yang berisiko tinggi sehingga Negara akan selalu dianggap bertanggung jawab absolute atau mutlak terhadap segala kerugian yang muncul dari aktivitas tersebut di permukaan bumi maupun di ruang udara.
E.     Pengecualian/Pembebasan Diri dari Tuntutan Pertanggungjawaban
                    Alasan-alasan yang bisa digunakan Negara untuk membela diri dari tuntutan pertanggungjawaban pihak asing yaitu :
1.      Penerapan sanksi atas dasar HI
                    Meskipun penggunaan kekerasan terhadap Negara lain, namun Negara dapat melepaskan diri dari tuntutan pertanggungjawaban manakala penggunaan kekerasan yang dilakukannya dalam rangka sanksi atas pelanggaran hukum internasional yang dilakukan pihak asing. Yang menjadi dasar hukumnya adalah piagam BAB VII PBB .
2.      Keadaan Memaksa (Force Major)
                    Negara dapat menggunakan pengecualian ini untuk membebaskan diri dari pertanggungjawaban pihak asing manakala terjadi sesuatu  hal atau kejadian yang merugikan pihak asing di luar prediksi negara dan memang tidak bisa diprediksikan sebelumnya, tidak ada kesengajaan, dan Negara tidak kuasa mencegah atau menghindarinya.
3.      State Necessity
                    Kepentingan Negara yang darurat dan sangat penting dilaksanakan untuk meminimalisasi kerugian yang akan terjadi. Pada umumnya, pada state necessity, Negara tidak memiliki pilihan lain, apa yang dilakukan Negara merupakan satu-satunya jalan yang dapat dilakukan Negara untuk menyrlamatkan kepentingan esensiil terhadap bahaya yang sangat besar, asalkan kepentingan Negara lain yang terkait tidak terancam dengan tindakan tersebut.
F.      Exhaustion of Local Remedies
            Hukum kebiasaan internasional menetapkan bahwa sebelum diajukannya kleim atau tuntutan ke pengadilan internasional, langkah-langkah penyelesaian sengketa yang disediakan Negara yang dituntut (local remedies) haruslah ditempuh lebih dahulu. Hal ini bertujuan untuk member kesempatan pada Negara tergugat memperbaiki kesalahannya menurut system hukum nasionalnya lebih dahulu dan untuk memperbaiki tuntutan-tuntutan internasional.
            Ketentuan local remedies  tidak berlaku ketika suatu Negara telah bersalah melakukan pelanggaran langsung hukum internasional yang menyebabkan kerugian terhadap Negara lainnya. Menurut Strake ada bebrapa  prinsip berkaitan dengan penerapan Exhaustion of Local Remedies :
1.      Upaya penyelesaian setempat (local remedies) akan dianggap tidak cukup dan tidak perlu digunakan manakala bukti-bukti menunjukkan bahwa pengadilan setempat tidak memiliki etikad baik untuk memberikan ganti kerugian.
2.      Seorang penggugat tidak perlu menggunakan upaya penyelesaian setempat ketika upaya tersebut memang tidak ada atau tidak disediakan oleh suatu Negara.
3.      Apabila kerugian-kerugian yang diderita oleh penggugat merupakan akibat dari tindakan-tindakan yang dilakukan eksekutif pemerintah setempat yang tidak tunduk kepada yurisdiksinya pengadilan setempat.
4.      Negara-negara dapat menyatakan bahwa upaya penyelesaian stempat dapat diindahkan, meskipun tidakalah jelas apakah suatu perjanjian justru yang dibuat di antara Negara-negara yang bersengketa untuk membawa kasusnya ke depan arbitrase merupakan pengindahan prinsip local remedies secara diam-diam.
5.      Tidak digunakannya local remedies bisa diterima apabila memang sudah didasari kesepakatan lebih dahulu antara pihak yang bersengketa yang dituangkan dalam suatu perjanjian antara mereka, ataupun memang sudah diatur lebih dahulu dalam perjanjian multilateral.












BAB IX
SUKSESI NEGARA DALAM HUKUM INTERNASIONAL

A.    Bentuk-bentuk Suksesi Negara
            Kata suksesi Negara berasal dari kata state succession atau succession of state, yang artinya adalah pergantian kedaulatan pada suatu wilayah. Dalam praktik, suksesi Negara dapat dibedakan menjadi :
1.      Suksesi universal
Pada bentuk ini tidak ada lagi internationally identity dari suatu Negara (predecessor state) karena seluruh wilayanhnya hilang.

2.      Suksesi parsial
Pada bentuk ini Negara predecessornya masih eksis, tetapi sebagian wilayahnya memisahkan diri menjadi Negara merdeka ataupun bergabung dengan Negara lain.
Terlepas dari kedua bentuk suksesi tersebut permasalahan utama ketika terjadi suksesi Negara adalah sejauh mana hak-hak dan kewajiban predecessor state beralih pada successor state ?. dan untuk menjawab pertanyaan ini ada tiga teori utama yang dikemukakan yaitu :
1.      Common Doctrine (Universal Doctrine) yang menyatakan ketika terjadi suksesi Negara maka seluruh hak dan kewajiban predecessor beralih pada suksesornya.
2.      Clean Slate Doctrine yang menyatakan ketika terjadi suksesi Negara semestinya Negara baru mulai dengan lembar yang bersih. Segala hak dan kewajiban dari predecessor tidak beralih pada suksesor kecuali dikehendakinya (pick & choose).
3.      Dapat ditemukan dalam konvensi wina 1978 tentang suksesi Negara dalam kaitannya dengan perjanjian internasional dan konvensi wina 1983 tentang suksesi Negara dalam kaitannya dengan state property , arsip dan utang melalui keberadaan perjanjian peralihan (Devolution/inheritance agreement).
B.     Akibat Hukum Suksesi Negara Terhadap Perjanjian Internasional
            Secara umum Pasal 17 juga 24 Konvensi Wina 1978 menetapkan bahwa perjanjian tidak beralih pada suksesor kecuali ditentukan lain dalam devolution agreement. Ketentuan ini sejalan dengan dengan apa yang diatur oleh pasal 34 Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional yang terkenal dengan prinsip “Pacta tertiis nec nocunt nec procent” bahwa perjanjian tidak menimbulkan hak dan kewajiban kepada pihak ke tiga tanpa persetujuannya.
            Namun demikian, tidak semua perjanjian dapat ditolak oleh Negara suksesor. Untuk perjanjian yang berkaitan dengan wilayah ata juga sering disebut sebagai dispositive treaty harus selalu berali pada suksesor.

C.     Akibat Hukum Suksesi Negara Terhadap Public Property Rights
            Prinsip umum secara luas dalam hukum kebiasaan internasional adalah bahwa state property akan beralih pada suksesor. Hal ini berarti tidaka ada kewajiban hukum pihak suksesor untuk mengembalikan ataupun membayar ganti rugi asset-aset milik pemerintah lama (pre desesor).
D.    Akibat Hukum Suksesi Negara Terhadap Privat Property
            Privat property yang dimaksud adalah menyangkut harta benda juga hak-hak milik perseorangan atau perusahaan yang bukan milik Negara berdasarkan hukum nasional predecessor. Dan daalm hal terjadi suksesi pada umumnya para ahli hukum internasional sepakt bahwa privat property ini harus dihormati atau dilindungi oleh predecessor state serta tidak dipengaruhi secara otomatis oleh suksesi Negara yang terjadi. Dalam praktik ada beberapa prinsip yang diberlakukan terhadap privat property yaitu :
1.      Pada prinsipnya suksesor wajib untuk menghormati privat property yang telah diperoleh di bawah hukum predecessor.
2.      Kelanjutan hak-hak perseorangan tersebut berlaku selama perundang-undangan negar suksesor tidak menyatakan lain, dalam hal menghapus atau menggantikannya.
3.      Penghapusan atau perubahan terhadap privat property tersebut tidak boleh bertentangan dengan atau melanggar kewajiban-kewajiban hukum internasionalnya, khususnya mengenai perlindungan diplomatic.
4.      Privat property yang bermacam-macam jenisnya memerlukan pemecahan sendiri-sendiri yang berarti memerlukan perumusan sendiri untuk setiap jenis privat property.
E.     Akibat Hukum Suksesi Negara Terhadap Arsip Negara
            Yang dimaksud dengan State Archive adalah Documents, numismatic collection, iconographic document, photograph & films, all objects of historical value, archeological objects. Prinsip umum yang berlaku untuk arsip yang berkaitan dengan wilayah yang akan beralih pada suksesornya, Konvensi Wina 1983 Pasal 21 menetapkan bahwa arsip dari Negara predecessor beralih pada suksesor pada saat terjadinya suksesi. Dalam hal tidak ada perjanjian maka beralihnya arsip tersebut tanpa kompensasi.
F.      Akibat Hukum Suksesi Negara Terhadap Utang Negara
            Dalam upaya menciptakan keseragaman demi kepastian hukum, Konvensi Wina 1983 melalui pasal 36-nya menyatakan bahwa suksesi Negara tidak memengaruhi hak dan kewajiban kreditor. Pada umumnya utang Negara dapat dibagi menjadi utang pemerintah pusat dan pemerintah daerah dan penyelesaian utang dilakukan melalui perjanjian khusus dalam perjanjian peralihan.
            Dalam kondisi tidak ada perjanjian khusus dan predecessor masih eksis, praktik Negara menunjukkan bahwa predecessor tetap brtanggung jawab. Adapun menyangkut utang daerah dan daerah itu melepaskan diri maka suksesor wajib membayar utang tersebut.
            Adapun menyangkut newly independent state case Pasal 38 menyatakan tidak ada utang Negara predecessor yang beralih pada suksesor. Selanjutnya dalam kasus penggabungan beberaap Negara menjadi satu maka prinsip yang berlaku adalah bahwa utang tersebut beralih pada suksesornya. Dan untuk Negara yang sebagian memisahkan diri maka prinsip pembagian yang adil untuk menyelesaikan masalah utangnya.
G.    Akibat Hukum Suksesi Negara Terhadap Kewarganegaraan
            Dua Konvensi yang berkaitan dengan suksesi Negara yaitu Konvensi Wina 1978 dan 1983 tidak mengatur akibat suksesi Negara terhadap masalah kewarganegaraan. Dalam praktik adalah hak Negara untuk mengatur masalah kewarganegaraannya.dalam kaitannya dengan kewarganegaraan ini yang terpenting bagi suksesor maupun predecessor adalah melaksanakan amanat Deklarasi HAM Universal 1948 bahwa setiap orang berhak atas kewarganegaraan.
H.    Akibat Hukum Suksesi Negara Terhadap Keanggotaan pada Organisasi Internasional
            Masalah keanggotaan suatu Negara di organisasi internasional maupun regional ditentukan oleh konstitusi masing-masing organisasi.
I.       Akibat Hukum Suksesi Negara Terhadap Claims in Tort dan Delict
            Prinsip yang umum berlaku dalam masalah ini adalah bahwa suksesor dipandang tidak berkewajiban untuk menerima tanggung jawab akibat tort atau delik yang dilakukan oleh predecessornya, baik dalam kasus suksesi Negara karena penaklukan maupun berintegrasi secara sukarela.














BAB X
PENYELESAIAN SENGKETA DALAM HUKUM INTERNASIONAL

A.    Pengertian Sengketa Internasisonal
Sengketa (dispute) menurut Merrils adalah ketidak-sepahaman mengenai sesuatu. Sedangkan konflik adalah istilah umum atau genus dari pertikaian (hostility) antara pihak-pihak yang sering kali tidak focus. Sengketa internasional adalah sengketa yang bukan secara eksklusif merupakan urusan dalam negeri suatu Negara. Selanjutnya Pasal 36 ayat (2) Statuta Mahkamah mengaskan bahwa sengketa hukum yang dapat dibawa ke Mahkamah menyangkut hal-hal berikut :
1.      Interpretation of treaty
2.      Any question of international law
3.      The existence of any fact which, if established, would constitute a breach of an international obligation
4.      The nature or extent of the reparation to be made for the breach of an international obligation
B.     Cara-cara Penyelasaian Sengketa dalam Hukum Internasional
1.      Secara damai
      a.       Jalur politik
    ü  Negosiasi
    ü  Mediasi
    ü  Jasa baik (good offices)
    ü  Inquiry
      b.      Jalur hukum
  ü  Arbitrase
ü  Pengadilan Internasional
2.      Secara kekerasan
a.       Perang
b.      Non perang : pemutusan hubungan diplomatic, retorsi, blockade, embargo, reprisal.
C.     Konflik Bersenjata Internasional dan Konflik Bersenjata Non Internasional
            Perbedaan utama antara konflik bersenjata non internasional dengan konflik bersnjata internasional dapat dilihat dari status hukum para pihak yang bersengketa. Konflik bersenjata non internasional merupakan konflik yang hanya terjadi di dalam wilayah suatu Negara saja, sedangkan konflik internasional dapat terjadi tidak saja di wilayah suatu Negara, tetapi juga dapat melawan dominassi penjajahan. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar